Mengapa Perlu Omnibus Law?

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Rabu, 12 Februari 2020 | 08:14 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 4K


Jakarta, InfoPublik - Presiden Joko Widodo  mengumumkan sebuah gebrakan tidak biasa pada awal pemerintahannya. Gebrakan yang disampaikan dalam pidato Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024 di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, 20 Oktober 2019, adalah deregulasi secara besar-besaran melalui penerbitan omnibus law yang kemudian disebut juga sebagai undang-undang sapu jagat.

"Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Yang pertama, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Yang kedua, Undang-Undang Pemberdayaan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Masing-masing akan menjadi omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang, bahkan puluhan undang-undang," tegas Kepala Negara.

"Puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan undang-undang yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi sekaligus," sambungnya. Menindaklanjuti itu, Pemerintah pun langsung bergerak cepat melakukan pembahasan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tiga bulan berselang, pada 22 Januari 2020, DPR melalui sidang paripurna telah mengesahkan 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, di mana empat di antaranya merupakan omnibus law.

Adapun keempat omnibus law tersebut antara lain RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Ibu Kota Negara. Dari empat RUU omnibus law, Pemerintah menyebut telah menyelesaikan dua draf RUU, yakni Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, draf RUU Cipta Lapangan Kerja akan segera diserahkan ke DPR pada akhir pekan pertama Februari 2020. Sementara RUU Perpajakan, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, telah diserahkan oleh pihaknya ke DPR.

Omnibus Law
Istilah omnibus law sendiri mungkin masih terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut Kamus Hukum Merriam-Webster, istilah omnibus law berasal dari omnibus bill, yakni UU yang mencakup berbagai isu atau topik, di mana kata "omnibus" berasal dari bahasa Latin yang berarti "segalanya".

Sederhananya, omnibus law adalah penyederhanaan sejumlah regulasi yang dinilai begitu panjang, berbelit, dan tumpang tindih, menjadi satu regulasi untuk mengatur semuanya. Bukan tanpa sebab Pemerintah memutuskan untuk menerbitkan omnibus law. Sejak jauh hari, Presiden Joko Widodo sendiri sering kali mengeluhkan banyaknya peraturan di Indonesia yang berimbas pada terhambatnya investasi, baik dari dalam maupun luar negeri, serta berkembanganya UMKM.

"Ada 42.000 aturan, baik itu UU, PP (Peraturan Pemerintah), Perpres (Peraturan Presiden), Keppres (Keputusan Presiden), Permen (peraturan Menteri). Baik Pergub (Peraturan Gubernur), (Peraturan) Wali Kota, (Peraturan) Bupati, 42.000, banyak tumpang tindih," ungkap Presiden dalam penutupan Rembuk Nasional 2017 di Jakarta, 23 Oktober 2017.

Belum lagi data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) per November 2019 menyebutkan bahwa ditemukan 190 kasus investasi terhambat akibat sejumlah permasalahan, di mana nilai investasi tersebut mencapai Rp708 triliun dari 24 perusahaan. "Sebanyak 32,6% disebabkan masalah perizinan, 17,3% masalah pengadaan lahan, dan 15,2% masalah regulasi," ungkap Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.

Dengan demikian, setidaknya ada tiga manfaat dari penerbitan omnibus law, yakni menghilangkan tumpang tindih antarperaturan perundang-undangan, efisiensi proses perubahan/pencabutan peraturan perundang-undangan, dan menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Kembali ke dua RUU omnibus law yang drafnya sudah rampung. Pemerintah mengungkapkan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja akan merevisi sebanyak 79 UU dan 1.244 pasal yang mencakup 11 klaster.
Kesebelas klaster tersebut antara lain penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; dan kawasan ekonomi.

Sementara untuk RUU Perpajakan akan merevisi 7 UU dan 28 pasal yang mencakup 6 klaster, yakni pendanaan investasi, sistem teritori, subjek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak, keadilan iklim berusaha, dan fasilitas.

Dalam penyusunannya, Pemerintah tidak bekerja sendiri. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia digandeng Pemerintah untuk berpartisipasi dalam penyusunan dan konsultasi publik omnibus law melalui pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Bersama yang dipimpin oleh Ketua Umum KADIN, dengan anggota berasal dari unsur kementerian, lembaga, KADIN, pemerintah daerah, serta akademisi.

Sehingga, diharapkan dengan adanya omnibus law, khususnya Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan, dapat meningkatkan iklim usaha yang kondusif dan atraktif, meningkatkan kepastian hukum dan mendorong minat warga negara asing bekerja di Indonesia sehingga terjadi alih keahlian, mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak, dan menyelesaikan tumpang tindih perundang-undangan di Indonesia.
"Itu (omnibus law) diharapkan akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6 persen dalam kurun waktu 2020-2024," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.