Merindu RUU Ciptaker

:


Oleh Endang Kamajaya Saputra, Rabu, 30 September 2020 | 16:06 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 667


Jakarta, InfoPublik - RUU (Rancangan Undang-Undang) Ciptaker (Cipta Tenaga Kerja) yang ditunggu dan diminati banyak pihak nyaris rampung. Lalu apa saja hal-hal substansi yang dibahas antara pemerintah dan Baleg DPR?

Pemerintah dan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) telah menyelesaikan pembahasan tingkat II terhadap daftar inventarisasi masalah (DIM), Senin (28/9/2020). Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Baidhowi mengatakan setelah DIM tingkat II diselesaikan, kemudian RUU Cipta Kerja dilanjutkan pada Tim Perumus (Timus). Pembahasan di tingkat Timus pun akan dilaksanakan tertutup.

"Panja memang hanya memutus konsepsi dasar saja. Di RUU mana pun begitu. [Klaster Ketenagakerjaan] akan dilanjutkan di Timus. [Pembahasan di Timus] tertutup," tukas Baidhowi.

Seluruh DIM selesai dibahas dalam 55 kali gelaran rapat panja atau hampir kurang lebih 5 bulan pembahasan sejak April 2020. Di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan ada 15 bab dan 174 pasal, yang merupakan bentuk perampingan dari 79 UU dengan 1.244 pasal, dengan 11 klaster.

Ke-11 klaster tersebut yakni, penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha.

Klaster lainnya yakni dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi khusus (KEK).

Jika tidak aral melintang, kemungkinan RUU Cipta Kerja bisa disahkan pada 8 Oktober 2020 mendatang di Sidang Paripurna DPR.

Dari beberapa draft awal yang pertama kali diserahkan oleh pemerintah kepada DPR, dalam perkembangannya ada klaster di dalam yang kemudian ditarik dan dikembalikan ke peraturan undang-undang yang ada.

Berikut hal-hal substansi yang sudah diputuskan di dalam rapat panja antara pemerintah dan Baleg DPR:

Kewenangan Pemda Tidak Jadi Ditarik ke Pusat

Pemerintah bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati untuk menghilangkan peran pemerintah daerah dalam kegiatan berusaha di dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Pemerintah menjelaskan, setelah melakukan diskusi panjang dengan panitia kerja (panja) Baleg DPR, pemerintah tetap menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Seperti diketahui, di dalam draft awal Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang disampaikan pemerintah, disebutkan Perda Provinsi, Kabupaten/Kota dan Peraturan Kepala Daerah yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dibatalkan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Presiden.

Atas usulan pemerintah tersebut, MK kemudian menyatakan Pemerintah Pusat tidak berwenang membatalkan perda, baik perda kota, kabupaten atau provinsi.

Tiga Badan Baru Berkat RUU Cipta Kerja

Berkat RUU Omnnibus Law Cipta Kerja, Baleg DPR juga telah berhasil menyetujui pemerintah untuk membentuk tiga badan, beberapa di antaranya Badan Percepatan Pembangunan Perumahan, Bank Tanah, dan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF).

Melalui rapat kerja panja, pemerintah dan Baleg DPR menyepakati agar SWF memiliki modal awal sebesar Rp 15 triliun. Dengan modal tersebut, diharapkan bisa sebagai salah satu daya tarik pemerintah untuk menarik investor.

Kemudian mengenai ketentuan perpajakan yang diatur di dalam pengelolaan SWF akan diatur di dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).

SWF akan dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan anggotanya terdiri dari Menteri yang membidangi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta tiga orang yang berasal dari unsur profesional.

Pemerintah bersama dengan DPR RI juga telah mencabut klausul tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus Minyak dan Gas Bumi dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Padahal, pembentukan BUMN Khusus Migas ini awalnya ditujukan untuk menggantikan regulator hulu migas yang ada saat ini yaitu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Pasal tentang Pers dan Pendidikan Dibatalkan dari RUU Cipta Kerja

Beberapa pasal tentang pers telah disepakati untuk dikeluarkan dari Omnibus Law Cipta Kerja. Dengan demikian, pasal-pasal tentang pers di RUU Cipta Kerja dikembalikan sesuai dengan UU yang ada atu UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Untuk diketahui, terdapat dua pasal tentang Pers yang masuk di RUU Cipta Kerja, yaitu Pasal 11 dan Pasal 18 dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 11 UU Pers menyatakan bahwa "penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal".

Sementara itu, dalam RUU Cipta Kerja Pasal 11 itu diubah menjadi "pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal".

Kemudian, Pasal 18 UU Pers mengatur soal ketentuan pidana. RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 18 dengan menaikkan jumlah denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan dalam UU Pers.

Selain pasal-pasal tentang pers yang dibatalkan, pemerintah dan Baleg DPR juga menyepakati untuk menarik klaster bidang pendidikan dari RUU Cipta Kerja. Pasalnya, klaster pendidikan dinilai telah menimbulkan banyak perdebatan oleh banyak masyarakat.

Pasalnya sejumlah organisasi dan pengamat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Pendidikan menolak masuknya sejumlah Undang-Undang (UU) di bidang Pendidikan ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Untuk diketahui, pada Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), mengatur bahwa badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri. Dalam ketentuan itu, diubah dengan menambahkan kata 'dapat'. Dalam RUU Cipta Kerja, badan hukum pendidikan dapat berprinsip nirlaba. Dengan demikian, aturan mengenai nirlaba dan badan hukum pendidikan kembali ke UU Sisdiknas.

Klaster Ketenagakerjaan 

Klaster ketenagakerjaan di dalam RUU Cipta Kerja telah selesai dibahas di tingkat II panitia kerja (panja) antara Baleg DPR dan pemerintah, dalam waktu tiga hari, yakni sejak Jumat (25/9/2020) hingga Minggu (27/9/2020).

Perlindungan bagi tenaga kerja tetap menjadi prioritas dan tidak ada yang berubah dari Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bahkan, Baleg DPR mengklaim, pekerjaan tertentu yang tidak diatur di dalam undang-undang existing, akan diatur di dalam RUU Cipta Kerja.

Terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), yang secara subtansi disepakati yakni, misalnya apabila adanya perlimpahan tugas pekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain, di tengah jalan. Hal ini berkaitan dengan subtansi alih daya atau outsourcing.

Mengenai pesangon juga, pemerintah dan Baleg DPR akan disetujui tetap dengan jumlah 32 kali gaji. Rinciannya adalah sebanyak 23 kali ditanggung oleh pemberi kerja atau pengusaha, dan sisanya ditanggung oleh pemerintah, melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Kemudian terkait upah minimum pekerja, pemerintah dan Baleg DPR memastikan untuk tidak memasukkan upah minimum padat karya di RUU Cipta Kerja. Namun, pemerintah dan Baleg menyepakati upah minimum harus berdasarkan pertumbuhan ekonomi di daerah dengan sayart-syarat tertentu.

Sebelumnya, pemerintah dan Baleg DPR menyepakati adanya tujuh perubahan UU Ketenagakerjaan di RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Ketujuh subtansi tersebut diantaranya adalah waktu kerja, rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA), pekerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), alih daya atau outsourcing, upah minimun, pesangon PHK, dan program jaminan kehilangan pekerjaan.

Banyak Ciptakan Ratusan Peraturan Pemerintah?

Dari pembahasan RUU Cipta Kerja antara pemerintah dan Baleg DPR, terungkap bahwa Omnibus Law ini berpotensi melahirkan lebih dari 500 Peraturan Pemerintah (PP). Hal tersebut dikatakan oleh Tenaga Ahli Baleg DPR saat menyampaikan beberapa pandangan fraksi mengenai Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NPSK) di dalam RUU Cipta Kerja.

Kendati demikian, pandangan beberapa fraksi di DPR disanggah langsung oleh Staf Ahli Bidang Regulasi, Penengakan Hukum, dan Ketahanan Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi.

Menurut Elen, pemerintah hanya memberikan catatan saja. Kalau dari RUU Cipta Kerja kemungkinan berpotensi melahirkan 550 PP, namun pada praktiknya menurutnya kemungkinan hanya akan melahirkan 34 PP saja.

"Kita sudah mulai mengarah ke kodifikasi, tapi kita belum bisa kodifikasi dalam bentuk yang sesungguhnya. Kita ada catatan 550 diatur di dalam peraturan pemerintah (PP). Praktiknya nanti kita mungkin hanya 1 PP atau 2 PP. Catatan kami, tidak lebih dari 34 PP," jelas Elen, Senin (28/09/2020).

Pemerintah, klaim Elen, sudah menyiapkan 34 PP. Kemungkinan, yang paling banyak adalah PP mengenai NPSK. "Kuncinya dengan NPSK ini. NPSK ini tidak jalan, kami yakin agak sulit menerapkan UU Cipta kerja," tutup Elen.*

Sumber Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.