STOP Perkawinan di Usia Anak

:


Oleh Reporter, Senin, 2 April 2018 | 22:23 WIB - Redaktur: Juli - 3K


Jakarta, InfoPublik - Perkawinan merupakan ikatan sakral antara laki-laki dan perempuan, yang diakui secara sosial untuk membangun keluarga, melegalkan hubungan seksual, melegitimasi dan membesarkan anak, serta berbagi peran pasangan di dalam keluarga.

Namun, bagaimana jadinya jika sebuah perkawinan dilakukan oleh seorang anak yang menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahkan masih belum genap berusia 18 tahun. Pada masa usia tersebut seharusnya mereka masih berhak merasakan serunya bermain bersama teman-teman, menikmati indahnya masa remaja, belajar, mengaktualisasikan bakatnya, serta mendapat kasih sayang dan perlindungan dari orang tua. Perkawinan anak dapat membawa anak ke “dunia dewasa” secara prematur.

Menurut Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny N. Rosalin selain berdampak terhadap pendidikan, perkawinan anak juga memiliki dampak yang penting terhadap kesehatan ibu dan anak, serta ekonomi.

“Terkait masalah kesehatan, baik dari ibu maupun anaknya, karena si Ibu masih memiliki umur yang sangat muda, ketika melahirkan akan terkena risiko pendarahan, bahkan kematian. Ketiga, masalah ekonomi, jika dalam usia anak-anak mereka telah menjadi janda yang telah memiliki anak, maka anak tersebut harus bekerja untuk menghidupi anaknya. Selain itu, pada umumnya mereka hanya memiliki ijazah tingkat sekolah dasar dan memiliki upah yang rendah, sehingga dapat menyebabkan siklus kemiskinan. Jika Indonesia ingin memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi, maka seluruh lapisan masyarakat harus ikut menekan angka perkawinan anak," kata Lenny menjelaskan.

Komitmen dunia untuk mengakhiri perkawinan anak sebenarnya telah dibuktikan dengan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) tujuan ke 5 dengan mengurangi praktik praktik berbahaya pada anak-anak, termasuk perkawinan anak. 

SDGs tujuan ke 5 target ke 3 indikator ke 1 berbicara tentang proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 15 tahun dan sebelum umur 18 tahun.

Berdasarkan hasil Susenas 2013, prevalensi perkawinan usia anak pada perempuan usia 20-24 tahun berstatus pernah kawin sebesar 24 persen. Pada 2015 prevalensinya turun menjadi 23 persen. Pada tahun 2016 prevalensi perkawinan anak turun lagi menjadi 22,35 persen, berarti 1 dari 4 perempuan usia 20 – 24 tahun yang berstatus pernah kawin melakukan perkawinan pada usia anak. Walaupun angka prevalensi perkawinan anak terus menurun, hal tersebut tergolong sangat lambat.

Perkawinan pada anak juga mencerminkan rendahnya status perempuan. Studi yang dilakukan oleh UNICEF menyatakan bahwa perkawinan anak sering terjadi pada perempuan yang memiliki pendidikan rendah dan rentan terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal, seorang anak adalah harapan terbesar orang tua, dan praktik perkawinan anak telah memadamkan api harapan tersebut.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, telah mengumpulkan informasi mengenai jenjang pendidikan yang ditempuh oleh perempuan usia 20-24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah atau di atas 18 tahun. Hasilnya cukup memprihatinkan, sebesar 94,72 persen perempuan usia 20-24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun atau usia anak tidak bersekolah lagi, sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4,38 persen.

Perempuan usia 20-24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan pada usia anak pun cenderung memiliki pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang kawin di atas usia 18 tahun. Perempuan usia 20-24 tahun berstatus pernah kawin yang kawin pada usia anak paling tinggi hanya menyelesaikan pendidikan dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), yakni sebesar 42,11 persen, dan yang menyelesaikan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya 11,54 persen. Sedangkan yang melakukan perkawinan di atas usia 18 tahun mayoritas menyelesaikan pendidikannya hingga ke jenjang SMA, yakni sebesar 45,89 persen.

Karena menikah pada usia anak, maka mereka tidak dapat lagi memperoleh hak atas pendidikan. Padahal, selain bisa menjadi tangga bagi masyarakat untuk mengubah status sosial mereka, pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian, mendapatkan pengalaman, dan membentuk generasi bangsa yang cemerlang.

Sejauh ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise tengah mendorong revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama pasal yang mengatur batas usia perkawinan. Dalam UU tersebut menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika laki – laki sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan sudah mencapai umur 16 tahun, serta memenuhi syarat syarat perkawinan.

Menurut Menteri Yohana batas minimal usia perkawinan tersebut justru mendorong praktik perkawinan anak. Sebaiknya batas minimal perkawinan dinaikkan, terutama bagi perempuan, karena usia 16 tahun masih tergolong usia anak atau belum dewasa.

Selain mendorong revisi UU Perkawinan, Kementerian PPPA juga aktif melakukan Kampanye “Stop Perkawinan Anak” yang telah dilakukan di tujuh Provinsi sejak 2016. Selain itu, Kementerian PPPA juga melakukan “Forum Pencegahan Perkawinan Anak” yang ditujukan kepada Tokoh Agama dan Guru dan telah dilakukan di 14 Provinsi.

Anak-anak memang belum saatnya merasakan sebuah ikatan sakral, merasakan tanggung jawab besar dan status sosial yang dibarengi dengan kesiapan mental, materi, dan spritual yang matang untuk mempertahankannya.

Mari bersama kita serukan STOP Perkawinan Anak!!

Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak