Pangeran Katandur dari Kudus, Berdakwah dengan Nandur

:


Oleh MC KAB SUMENEP, Kamis, 7 Mei 2020 | 20:16 WIB - Redaktur: Juli - 5K


Sumenep, InfoPublik  - Desa Bangkal di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur memiliki beberapa destinasi wisata religi, seperti Asta Sunan Paddusan dan Pangeran Katandur. Di antara kedua titik sasaran para peziarah itu, makam Pangeran Katandur yang paling ramai disinggahi.

“Peziarah ramai, terutama di malam Jumat dan bulan Ramadan,” kata Imam Alfarisi, salah satu anggota Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser) pada Media Center, Kamis (7/5/2020).

Para peziarah ada yang sendiri-sendiri, namun tidak sedikit yang berkelompok atau berjemaah. Datang tanpa langsung pulang, juga ada. Dalam pantauan Media Center, tidak jarang yang berhari-hari menghabiskan waktu di pasarean tokoh asal Kudus ini.

“Betah di sini. Biasanya, saya memang ke sini untuk bertawasul. Alhamdulillah setiap punya hajat, Allah kabul,” kata Arif, peziarah dari luar Sumenep.

Pangeran Katandur memang begitu dekat bagi warga Sumenep. Sosok asal negeri Kudus ini memang dikenal sebagai tokoh berjasa di bidang pertanian. Bahkan dari imbas “nandurnya” atau bertani, muncul ikon sapi dan karapannya.

“Ju Katandur itu seorang ulama yang alim di bidang agama. Namun berdakwah dengan salah satunya ‘nandur’ atau mengajarkan cara bertani,” kata R. Idris, salah satu tokoh Sumenep yang bersusur galur nasab ke Pangeran Katandur.

Berasal dari Kudus, tinggal di tempat tandus, hanya untuk bertani, bagaimana kisahnya. Kedatangan Pangeran Katandur banyak dikabarkan oleh beberapa literatur sejarah di Sumenep. Kendati tidak secara utuh.

“Beliau bernama Sayyid Ahmad Baidlawi. Seorang pangeran dari Kudus. Ayahnya bernama Panembahan Pakaos, salah satu anak Sunan Kudus,” jelas Idris.

Mantan Sekda Sumenep itu menyebutkan bahwa nama Pangeran Katandur bermakna seorang pangeran yang ‘nandur’. “Pendekatan dakwah ulama kan memang berbeda. Beliau dengan mengenalkan ilmu pertanian,” tutur Idris, di rumahnya, di kampung Pangeran Le’nan Kelurahan Kepanjin beberapa waktu lalu.

Penuturan Idris memang sesuai dengan fakta sejarah. Di kalangan Wali Sanga misalnya, dakwah bisa dari jalur kesenian, seperti Sunan Kalijaga yang menggunakan media wayang. Sunan Bonang dan Sunan Giri yang menciptakan tembang. Begitu juga Sunan Ampel dan lainnya.

“Dari sana kemudian didapat simpati masyarakat yang mulai mendekat. Baru setelah itu dikenalkanlah ilmu agama dan alat-alatnya,” kata R. Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.

Dakwah Pangeran Katandur tidak hanya mengatasi masalah pembumian Islam, atau kehausan masyarakat akan Islam yang kaffah, namun seiring dengan itu juga menjadi pemecah masalah ketahanan pangan di Sumenep.

Lahan-lahan yang luas nan tandus itu dibajak. Diajarkan ilmu-ilmunya. Digunakanlah sarana sapi, dan lain sebagainya. Hasil bumi di Sumenep makin melimpah. (Han/Fer)