Pohon Sagu Dan Identitas Orang Maluku

:


Oleh MC GEREJA PROTESTAN MALUKU, Selasa, 25 Juni 2019 | 20:40 WIB - Redaktur: Tobari - 8K


Ambon, InfoPublik - Jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Wasu Klasis Pulau-Pulau Lease, Kabupaten Maluku Tengah giat membudidayakan tanaman sagu, jadi pohon sagu dapat dimanfaatkan seutuhnya.

Mulau dari daun, batang, hingga kulit dapat diolah dan dimanfaatkan masyarakat setempat untuk diberdayakaan menjadi bahan bagu pembuatan atap rumah atau dinding rumah.

"Batang sagunya diolah menjadi produk unggulan pangan lokal yang dapat bermafaat memberikan nilai ekonomi," ungkap Pdt. J. Mahupale dalam kolaburasinya bersama Abson Timisela, saat mendampingi warga jemaatnya di areal pepohonan sagu, Selasa (25/6).

Sagu adalah tepung  atau olahan yang diperoleh dari pemrosesan batang pohon rumbia atau "pohon sagu" (Metroxylon sagu Rottb). 

Pembudidayaan sagu dapat menopang ketersediaan bahan pangan di seluruh Indonesia jika Sagu mendapat perhatian khusus oleh para pemiliknya. Tentu Sagu dapat berkolaburasi dengan beras untuk menjaga kestabilan pangan Negara.

Sagu merupakan makanan pokok masyarakat Maluku. Hampir sebagian besar wilayah di Maluku ditumbuhi oleh pohon sagu terutama pada daerah pesisir.

Dari Pohon sagu inilah Maluku mulai memproduksi berbagai makanan yang bersumber dari bahan dasar sagu, misalnya ; Sagu Mentah yang kemudian bisa diolah menjadi papeda, sagu bakar; sagu gula, sagu kering, dan aneka cemilan seperti sinoli, sagu tumbu, bagea, sarut, bangket sagu, sagu keju, dan lain sebagainya.

Ternyata sagu dapat memberikan citararasa yang beragam jika diolah sekreatif mungkin.

Sebelum adanya tepung terigu bahkan nasi, masyarakat Maluku dalam kehidupan sesehari sangat bergantung pada sagu.

Dengan sendirinya Sagu membentuk tradisi/ kebudayaan termasuk kuliner masyarakat Maluku, dan bahkan sebaliknya kebutuhan akan sagu juga mempengaruhi pola dan cara hidup serta pola kerja dari masyarakat Maluku.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan perilaku kerja masyarakat, padi/nasi kemudian mendominasi hampir sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Maluku.

Walaupun sebagian besar masyarakat masih mengkonsumsi sagu tetapi masyarakat Maluku juga mulai tergantung pada padi/nasi.

Seiring dengan itu perubahan pola konsumsi masyarakat Maluku tersebut turut mempengaruhi perubahan mata pencaharian petani sagu sehingga proses produksi sagu semakin menurun dari hari ke hari.

Abson Timisela, yang merupakan Ketua Kelompok budidaya tanaman sagu dan pengolahannya juga berpendapat demikian

Kondisi ini cukup memprihatinkan sebab permintaan sagu di pasaran tradisional yang menurun dan juga harga jual sagu yang menurun menyebabkan khasiat atau manfaat pohon-pohon sagu mulai dilupakan.

Dan pemilik-pemilik lahan sagu mulai mengalihkan lahan-lahan mereka untuk bercocok tanam pada jenis tanaman lain. Lama kelamaan banyak pohon-pohon sagu dibiarkan kering dan sebagian besar lahan yang ditumbuhi sagu digusur untuk dijadikan tempat pemukiman dan juga parkiran.

Padahal jika kita menganalisa dari sisi manfaat, sagu tidak hanya bermanfaat untuk bahan pokok pangan saja tetapi tumbuhan sagu sendiri adalah tumbuhan yang mampu menyerap air, jika demikian maka tumbuhan sagu turut menjamin ketersediaan air disuatu wilayah.

Bayangkan saja, kata Abson Timisela, jika Maluku yang awalnya kaya dengan sagu dan kandungan air didalam tanah berubah menjadi Maluku dengan kepadatan penduduk tinggi yang terancam kurangnya ketersediaan air di masa depan.

Perubahan pola konsumsi pada akhirnya menyebabkan terjadi perubahan pada budaya kerja masyarakat yang juga akan berdampak pada perubahan sosial masyarakat Maluku secara holistik.

Dengan kondisi itu, Jemaat GPM Wasu Klasis Pulau-Pulau Lease, Kabupaten Maluku tengah giat membudidayakan tanaman sagu, jadi phon sagu dapat dimanfaatkan seutuhnya.

Untuk itulah fenomena ini perlu diantisipasi oleh semua pihak baik masyarakat, maupun pemerintah Maluku. Budaya konsumsi sagu sangatlah penting untuk dikembalikan dan digiatkan sehingga mengembalikan peran sagu sebagai makanan pokok masyarakat Maluku.

Pembudayaan sagu bukan hanya berpengaruh pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat Maluku, khususnya petani sagu, tetapi memutuskan mata rantai ketergantungan Maluku pada beras/ nasi.

Dan juga dapat memberi dampak positif bagi pemeliharaan lingkungan alam Maluku dengan terpeliharanya sumber-sumber air tanah yang dapat menopang ketersediaan air bersih di maluku beberapa tahun ke depan.

Pentingnya pembudidayaan sagu perlu juga didorong dengan peningkatan industri pengelolaan sagu yang perlu digiatkan oleh pemerintah , swasta (perorangan)maupun masyarakat dengan juga didorong oleh tingginya minat dan kebiasaan masyarakat Maluku untuk "Makang Sagu Lai Kombali" .

Sagu dapat dikelola menjadi bagian pangan lokal masyarakat yang dengan sendirinya mewakili identitas budaya. (MC GPM/toeb)