Jimly Asshidaiqie : Tak Semua Masalah Diselesaikan di Pengadilan

:


Oleh MC PROV JAWA TIMUR, Kamis, 16 Mei 2019 | 03:53 WIB - Redaktur: Tobari - 2K


Surabaya, InfoPublik – Sebagai bentuk keprihatinan banyaknya narapidana di lapas dan rutan menggugah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assiddiqie untuk melakukan terobosan. Salah satunya dengan menyelesaikan masalah di luar pengadilan.

Saat ini penjara sudah sangat penuh. Jadi tak semua masalah yang berkait dengan pidana itu harus diselesaikan di pengadilan.

"Mekanisme penyelesaian masalah melalui pengadilan harus terus diefektifkan melalui saluran hukum pengadilan sesuai dengan tradisi budaya,” kata Jimly saat di Surabaya, Rabu (15/4).

Sebagai langkah solusi yang ideal, pihaknya telah membuat resolusi konflik dan pusat mediasi yang sekarang sudah diadopsi dan akan menjadi kebijakan pemerintah.

“Resolusi konflik dan pusat mediasi ini masih tingkat perencanaan belum tercermin di Undang-undang. Kalau ini sudah jadi kebijakan resmi nanti akan diikuti perubahan Undang-undang KUHAP, Acara Perdata, Acara TUN (tata usaha negara),” jelasnya.

Menurutnya, mekanisme hukum kini harus berubah dengan memberi ruang pada mekanisme di luar pengadilan. “Ke depan itu mediasi melalui mediator bisa diutamakan. Jadi Mediator pun bisa menjadi profesi,” tuturnya.

Untuk itu, ia juga berharap agar proses penyelesaiain masalah hukum juga menghidupkan peran tokoh-tokoh di masyarakat. Misalkan hukum waris atau perceraian itu sebaiknya diselesaikan secara adat dulu. Jangan langsung bawa ke pengadilan, putus bisa dirujuk.

Pada hukum acara pidana, yang tergolong tindak pidana ringan bisa dibuatkan mekanisme yang memungkinkan. Namun hal itu belum bisa jika belum diatur oleh Undang-Undang.

UU ke depan semestinya memberikan peran pada polisi untuk kerjasama dengan tokoh masyarakat. Jika ada pelaporan, pengaduan jangan langsung diproses hukum.

"Marah-marah sedikit langsung ditangkap, dilaporkan, diproses oleh polisi. Itu tindakan pidana adalah kekerasan negara dan tidak semua di bisa diselesaikan di pengadilan,” ujarnya.

Ia memisalkan, ada orang berbeda pendapat dan mengancam membunuh Presiden. “Emang bisa orang memegang dan memenggal kepala Presiden. Itu contoh orang yang lagi marah. Ngomong sembarangan," katanya.

Kalau dipidanakan ya kena, tapi penjarakan sudah penuh. Kalau pendekatan dengan pembicaraan maka penjara semakin penuh sebagai dampak Pilpres ini kemarahan menjadi dendam itu semakin besar.

Ia menabahkan, persoalan dengan penjara juga sangat rumit. Menurutnya, ada tiga jenis orang yang masuk penjara. Pertama, masuk penjara dan menjadi tobat itu 30%. Kedua, keluar dari penjara menjadi dendam karena merasa tidak bersalah juga 30%.

Ketiga yakni ada 40% orang masuk penjara, setelah keluar malah menjadi lebih parah. Yang awalnya copet bisa jadi perampok, masuk penjara jadi pengguna narkoba, keluar menjadi pengedar narkoba.

“Penjara itu malah menjadi sekolah bagi pelaku kejahatan, maka perlu dicarikan solusi yang tepat agar tidak semakin penuh,” katanya. (MC Diskominfo Prov Jatim/non-afr/toeb)