Bangun Rumah Adat, Warga Gendang Coal Gelar Ritus Roko Molas Poco

:


Oleh MC KAB MANGGARAI BARAT, Kamis, 9 Mei 2019 | 03:42 WIB - Redaktur: Tobari - 3K


Labuan Bajo, InfoPublik – Masyarakat adat kampung Coal, Kabupaten Manggarai Barat – Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar ritus adat roko molas poco yang saat ini dalam proses mendirikan dan membuat rumah adat/komunal, yang disebut mbaru gendang.

Roko molas poco merupakan ritus memikul (roko) tiang utama (siri bongkok) yang disimbolkan sebagai gadis cantik (molas) yang berasal dari hutan (poco), lalu dijemput di gerbang kampung (pa’ang) untuk selanjutnya diarak masuk ke lokasi pembangunan rumah adat (gendang).

Tokoh Adat (Tu’a Gendang) Coal, Fransiskus Jeragan, ditemui saat proses roko molas poco berlangsung, Rabu (8/5), menjelaskan warga kampung menggelar ritual roko molas poco karena tengah membangun dan mendirikan rumah adat yang sudah rusak karena dimakan usia.

Ritual ini  diikuti oleh semua warga kampung dari semua generasi (wan koe-etan tu’a). Semua warga khususnya laki-laki yang terikat dalam satu kesatuan rumah adat terlibat dalam acara ini (kote oles-todo kongkol).

Menurut Frans Jeragan, semua pihak menunjukan kontribusi positif,  baik yang ada di kampung maupun yang berada di luar, tanah perantauan. Tradisi roko molas poco ini, katanya, merupakan warisan leluhur kampung Coal.

“Hari ini kami semua berkumpul dalam satu suasana kegembiraan. Suasana kegembiraan itu bisa dilihat dari pakaian adat dan atribut yang kami gunakan, semua berbusana adat Manggarai,” katanya dengan wajah sumringah.

Semua warga kampung, bahu membahu memikul kayu tersebut dari hutan yang dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama, di hutan asal kayu dan kelompok kedua menunggu di pintu masuk kampong yang disebut pa’ang.

Dalam perjalanan, para penjemput di hutan menyanyikan lagu-lagu adat yang syarat dengan pesan mistis, kole le o rewung (pulanglah wahau awan/kabut). Lagu tersebut bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat (kokong) atau mahluk gaib dari hutan agar tidak ikut serta dengan para penjemput kayu menuju kampong dengan iringan gong dan gendang.

Untuk diketahui ritual roko molas poco sesungguhnya cara unik etnik Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) punya dalam menciptakan suasana harmonis antara kampong (beo) dengan hutan (poco).

Konstruksi rumah adat berbentuk lingkaran, tiang-tiang penyangga umumnya berada di bagian luar dengan tinggi rata-rata 3-4 meter, sedangkan tiang utama berada di tengah dengan tinggi 10-15 meter di atas permukaan tanah.

Tiang utama ini biasa disebut sebagai siri bongkok, yang selanjutnya menjadi tempat sandaran bagi tokoh karismatik (Tu’a Golo/Gendang) dari sebuah kampung.

Tiang utama (siri bongkok) ini merupakan kayu paling bagus, cantik tanpa cacat yang ada di kawasan hutan terdekat. Oleh etnik Manggarai, kayu paling bagus, cantik tanpa cacat ini disebut sebagai gadis (molas) hutan (poco).

Dalam tradisi etnik Manggarai dikenal adat roko molas apabila seseorang laki-laki Manggarai mengambil istri. Roko molas merupakan tahapan terakhir setelah proses peminangan dan perkawinan secara sah baik secara adat maupun agama (Katolik, Islam, Kristen).

Apabila seseorang perempuan Manggarai sudah melakukan acara roko, maka seorang perempuan wajib mengikuti adat istiadat suami dan meninggalkan adat dari kampung asal perempuan tersebut.

Etnik Manggarai menganut system perkawinan patrilineal, dimana istri mengikuti suami. Orang tua, saudara dan kampung asal perempuan disebut sebagai anak rona/ine ame sedangkan pihak orang tua laki-laki dan kampung asalnya disebut sebagai anak wina.

Anak rona/ine ame harus dihormati, dihargai sebagai pihak yang memberi keturunan. Tidak menghargai anak rona/ine ame maka orang tersebut terancam tidak memiliki keturunan dan juga tidak akan diberi rejeki. Anak rona/ine ame ibarat mata air yang terus mengalir dan menghidupkan.  

Tradisi ini juga diterapkan dalam mendirikan rumah komunal yang disebut sebagai rumah gendang. Etnik Manggarai pada jaman dahulu, sangat menghargai dan menghormati hutan (poco). Apabila hendak mengambil kayu untuk mendirikan rumah biasanya diawali dengan ritual.

Tujuannya, agar penunggu atau pemilik hutan tidak marah dan murka terhadap warga kampung jika hendak memotong kayu dihutan. Halnya hubungan antara anak rona dan anak wina, hutan juga harus dihargai.

Tidak menghargai hutan seperti memotong sembarang kayu di hutan akan membawa malapetaka (mamur mose), banjir (mbang), longsor (ronco) dan bahkan matinya sumber mata air (meti taung mata wae). Hutan harus dijaga dan dipelihara.  

Ritual molas poco adalah ritual puncak dari proses peminangan dan penjemputan kayu yang dijadikan tiang utama rumah adat/komunal Manggarai. Uniknya, dari banyak tiang yang digunakan dalam mendirikan rumah adat, hanya ada satu tiang yang diritual secara khusus.

Ritual ini juga sesungguhnya juga dipandang sebagai penegasan hubungan antara kampong dan hutan. Hutan sebagai asal kayu disebut sebagai anak rona sementara kampong (beo) disebut anak wina. (MC Manggarai Barat/Hans/Paulus Jr./toeb)