Bawaslu: Potensi Politik Uang di Kalsel Cukup Tinggi

:


Oleh Eko Budiono, Minggu, 23 Agustus 2020 | 10:17 WIB - Redaktur: Isma - 873


Jakarta, InfoPublik - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Erna Kasypiah, mengatakan kerawanan terjadinya politik uang jelang Pilkada  2020  cukup tinggi.

"Potensi kerawanan cukup tinggi pada saat Pilkada saat ini," kata Erna melalui keterangannya, Sabtu (22/8/2020).

Menurut Erna, potensi merebaknya praktek politik uang bisa disebabkan karena faktor kondisi perekonomian masyarakat, yang melemah akibat dihantam efek pandemi Covid-19.

Erna  menuturkan, kondisi ini disinyalir bisa memudahkan oknum yang menghalalkan praktek politik uang untuk membujuk, dan mempengaruhi calon pemilih khususnya di kalangan ekonomi menengah ke bawah dengan mengiming-imingi rupiah.

"Bisa jadi juga merebaknya politik uang, karena kondisi ekonomi masyarakat melemah lalu dimanfaatkan oleh oknum yang ingin mencalon sehingga money politik bisa marak kembali terjadi," paparnya.

Tak bisa dipungkiri, kondisi pandemi Covid-19 di Kalsel tak hanya berpengaruh pada aspek kesehatan namun juga sosial dan ekonomi masyarakat.

Selain risiko pelanggaran terkait politik uang, Erna juga menyebut beberapa faktor kerawanan lainnya yang diwaspadai Bawaslu termasuk pada rangkaian proses penetapan daftar pemilih tetap (DPT), dan tahapan kampanye yang pasti berbeda dibanding Pilkada sebelumnya karena kondisi pandemi.

"Akan ada perubahan regulasi pelaksanaan kampanye misalnya. Itu sampai hari ini masih meraba mungkin nanti kampanye lebih banyak melalui daring dan medsos tidak lagi bertatap muka atau rapat umum melibatkan banyak orang," tambahnya.

Sebelumnya Ketua Bawaslu RI Abhan, mengatakan calon kepala daerah yang terbukti melakukan politik uang di Pilkada 2020  dapat didiskualifikasi.

Hal itu diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa paslon yang terbukti melalukan politik uang, Bawaslu dapat melakukan pembatalan sebagai pasangan calon kepala daerah.

"Paslon yang terbukti melakukan politik uang secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) bisa terkena sanksi diskualifikasi," katanya.

Menurut Abhan, kecurangan Pilkada bisa disebut terstruktur jika dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pilkada secara kolektif atau secara bersama-sama.

Sistematis berarti pelanggaran direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Sedangkan masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas terhadap hasil Pilkada.

"Pelanggaran money politik TSM bisa saja dilakukan oleh orang lain seperti simpatisan atau tim kampanye manakala terbukti dilakukan atas perintah dan aliran dananya dari paslon maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran ketentuan Pasal 187A," ujar Abhan.

Adapun Pasal 187A yang dimaksud Abhan mengatur tentang ketentuan pidana politik uang dalam UU Pilkada.

Ayat 1 pasal tersebut menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Namun  pasal tersebut baru dapat digunakan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon kepala daerah.

Menurut tahapan dan jadwal Pilkada, penetapan paslon baru digelar 23 September mendatang.

 (Foto: Bawaslu RI)