DKPP: PTUN Putuskan Masalah Hukum

:


Oleh Eko Budiono, Rabu, 29 Juli 2020 | 22:23 WIB - Redaktur: Untung S - 1K


Jakarta, InfoPublik - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI menyatakan, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengurus masalah hukum.

Sedangkan DKPP fokus kepada masalah pelanggaran kode etik.

Hal itu disampailan anggota DKPP RI, Ida Budhiati, melalui keterangan teetulisnya, Rabu (29/7/2020).

Menurutnya, PTUN yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga peradilan yang berwenang untuk memeriksa persoalan hukum, bukan persoalan etik.

Hal tersebut terkait polemik putusan PTUN Jakarta dalam perkara 82 Tahun 2020 tentang perkara yang digugat oleh mantan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik.

"Nah ini dua hal yang berbeda antara problem hukum dengan problem etik," kata Ida.

Menurutnya, Presiden Joko Widodo melalui Keppres 34/P Tahun 2020 yang memberhentikan tidak hormat Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU sudah sesuai amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

"Belum dibentuk mahkamah etik yang diberikan tugas untuk mengoreksi putusan DKPP," kata dia.

Ia mengatakan berdasar Undang-undang 7 tahun 2017, DKPP memiliki otoritas untuk menerbitkan vonis atau putusan final and binding atau bersifat final dan mengikat.

Karena itu, tidak ada satu pun lembaga peradilan yang bisa mengoreksi putusan DKPP yang merupakan peradilan etik di bidang pemilu.

"Karenanya keputusan Bapak Presiden itu sudah tepat melaksanakan dan menindaklanjuti putusan DKPP yang final dan binding serta tidak bisa dianulir oleh peradilan hukum," ujar Ida.

Majelis Hakim PTUN akarta membuat 5 keputusan terhadap Evi Novida Ginting selaku penggugat dan Presiden Joko Widodo sebagai tergugat, yaitu mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya Kemudian, menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020.

Selanjutnya, Putusan PTUN mewajibkan tergugat untuk mencabut Keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020.

Kemudian, mewajibkan Tergugat merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan penggugat sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan, serta menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp332 ribu.

Sebelumnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta Presiden menjadikan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebagai rekomendasi untuk mengevaluasi tata kelola penyelenggaraan pemilihan umum.

Putusan PTUN Jakarta menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemberhentian dengan tidak hormat Evi Novida Ginting Manik dari anggota KPU RI.

"Presiden bisa juga merekomendasikan semacam, ayo dong diperbaiki tata kelola penyelenggaraan pemilu dan hal-hal yang mesti dikuatkan agar peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi," ujar Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil.

Fadli menyarankan, presiden tidak perlu melakukan upaya hukum atau mengajukan banding atas putusan PTUN Nomor 82/G/2020/PTUN.JKT itu.

Menurut Fadli, energi dan waktu untuk menempuh proses hukum, lebih baik digunakan untuk perbaikan tata kelola penyelenggaraan pemilu agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi.

Dia mendorong, putusan PTUN ang membatalkan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 tentang pemecatan Evi dari komisioner KPU RI menjadi bahan refleksi internal penyelenggara pemilu, baik itu KPU, Bawaslu, maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). KPU harus memperbaiki kinerjanya agar meminimalisasi gugatan pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu ke DKPP.

Sementara, Bawaslu dapat melakukan refleksi dalam mengeluarkan kebijakan terhadap pengawasan pemilu. Begitu pula dengan DKPP yang perlu lebih cermat melaksanakan pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dari sisi substansi maupun prosedur.

"Duduk bersama dalam sebuah forum--bisa informal dan bisa forum formal--untuk membicarakan arah penguatan kelembagaan penyelenggaraan pemilu untuk mewujudkan pemilu yang adil ke depan," kata Fadli.

Dia berharap, porsi kewenangan, kewajiban, dan tugas masing-masing lembaga penyelenggara pemilu dapat dikontrol dan dikelola dengan baik untuk penguatan pelaksanaan pemilu. Tidak lagi mengedepankan ego sektoral masing-masing lembaga, apalagi memperuncing persoalan ini.

Sementara itu,  DKPP menyerahkan sepenuhnya tindak lanjut putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan gugatan mantan Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

DKPP tidak akan bersurat maupun berkoordinasi dengan pihak kepresidenan.

"Nggak, karena bukan putusan DKPP yang jadi objek sengketa," ujar Ketua DKPP Muhammad.

Ia mengatakan, tindak lanjut terhadap putusan PTUN seperti banding bergantung pada presiden.

Sebab, objek gugatan Evi ke PTUN adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 tertanggal 23 Maret tentang pemberhentian dengan tidak hormat Evi dari anggota KPU periode 2017-2022. 

Keppres itu memang diterbitkan berdasarkan putusan DKPP atas sidang kode etik penyelenggaraan pemilihan umum yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Evi. Namun, menurut dia, putusan DKPP masih tetap berlaku walaupun PTUN menyatakan batal atau tidak sah Keppres tersebut.

Muhammad menuturkan, dalam perspektif hukum tata negara, pemerintah bersama DPR membentuk undang-undang tentang pemilihan umum (pemilu) yang mengatur desain kelembagaan DKPP. DKPP menjadi peradilan etika dan diberikan wewenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu. (Foto: DKPP)