Bawaslu: Regulasi Larang Politik Uang

:


Oleh Eko Budiono, Jumat, 3 Juli 2020 | 15:36 WIB - Redaktur: Untung S - 265


Jakarta, InfoPublik - Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah melarang politik uang.

Namun  pada praktiknya penegakan aturan tersebut masih terkendala di lapangan. Hal itu disampaikan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Abhan, melalui keterangan tertulisnya, Jumat (3/7/2020).

"Penegakan hukumnya agak repot ada kendala," kata Abhan.

Menurut Abhan, UU Pilkada menyebutkan larangan praktik politik uang berlaku di sepanjang tahapan. Tidak hanya sebatas tahapan kampanye, masa tenang, maupun hari H pencoblosan.

Hukuman atas praktik ini bisa dijatuhkan pada siapapun pihak yang terlibat, tidak hanya pemberi, melainkan juga penerima.

Hal itulah yang menurut Abhan justru menjadi kendala dalam penegakan aturan.

Sebab, seandainya penerima politik uang melaporkan pihak pemberi, penerima juga bisa dikenai sanksi.

Untuk itu, sulit membuktikan praktik politik uang karena minimnya saksi.

"Saksi penerima itu ternyata susah. Karena orang tidak akan mau menjadi saksi sebagai pelapor karena dia sendiri akan kena sanksi sebagai pihak penerima," urainya.

Ia menambahkan, sanksi yang dapat dikenakan pada pihak yang terbukti terlibat politik uang bisa berupa pidana maupun sanksi administrasi.

Sebelumnya, Komisioner Bawaslu RI, Mochammad Afifuddin mengatakan, politik dan netralitas aparatur sipil negara (ASN) masuk dalam indeks kerawanan dalam Pilkada 2020.

"Saya mau konfirmasi indeks kerawanan kita untuk pilkada besok, ini yang paling dikhawatirkan dan kita ambil dari semua data daerah yang pilkada itu soal politik uang dan netralitas ASN" katanya.

Afifuddin mengungkapkan, pihaknya sudah mengumpulkan berbagai data dari daerah terkait pelaksanaan Pilkada 2020.

Dari data yang dikumpulkan tersebut, sebanyak 369 data terkait kemungkinan adanya ASN yang tak netral saat pelaksanaan pilkada akhirnya diberikan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Sedangkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) M.Tito Karnavian meminta semua pihak mempertimbangkan sarannya untuk melaksanakan pilkada asimetris.

"Saya sarankan pilkada asimetris mungkin perlu dipertimbangkan, bukan sesuatu yang aneh, kita tak perlu alergi. Pendapat saya karena ada juga sekarang daerah-daerah yang tidak lakukan pemilihan langsung," kata Tito.

"Contoh Yogya karena keistimewaannya maka Sri Sultan jadi Gubernur tanpa dipilih langsung rakyat. Kita lihat juga di DKI, wali kota, bupati Kepuluan Seribu dipilih Gubernur jadi dia tak ada beban untuk balikkan modal. Jadi asimetris itu sudah terjadi," ujarnya.

Tito sempat melontarkan usul pilkada asimetris atau usul tidak sepenuhnya pilkada dilakukan secara langsung. (Foto: Bawaslu RI)