Dukungan Kementerian LHK untuk Energi Baru Terbarukan

:


Oleh Wahyu Sudoyo, Kamis, 28 Januari 2021 | 21:12 WIB - Redaktur: Wawan Budiyanto - 237


Jakarta, InfoPublik - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya menjadi salah satu narasumber dalam dialog nasional pada Kamis (28/1/2021) yang digelar salah satu grup media di Indonesia. Dialog yang mengangkat tema Sustainable Energy: Green and Clean ini menghadirkan narasumber lain yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ketua Komisi VII DPR RI, Direktur Utama PT Pertamina, Kepala SKK Migas, dan Direktur Utama PLN.

Pada awal paparannya, Menteri LHK Siti menjelaskan, Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) Nasional. Indonesia memiliki target penurunan emisi GRK pada 2030 sebesar 29 persen dan hingga 41 persen dengan dukungan internasional.

“Target NDC pada tahun 2030, yaitu penurunan emisi GRK sebesar 29 persen atau setara dengan 834 juta ton CO2e. Khususnya pada sektor energi, target pengurangan karbon sebesar 314 juta ton CO2e. Angka tersebut terbagi dalam beberapa sub sektor yaitu energi efisiensi sebesar 41,76 juta ton CO2e, energi baru terbarukan (EBT) 183,66 juta ton CO2e, energi bersih 74,00 juta ton CO2e, fuel switching 9,59 juta ton CO2e, dan agriculture, forestry and other land use (AFOLU) 5,00 juta ton CO2e,” terang Siti.

Siti menambahkan, Kementerian LHK, selaku National Focal Point (NFP) pada UNFCCC, selalu memberikan dukungan agar kelima sektor dalam NDC yaitu sektor energy; limbah; industrial processes and production use (IPPU); pertanian; dan kehutanan, dapat mencapai target pengurangan emisi.

Untuk mencapai target NDC pada sektor energi, Siti mengungkapkan, hal yang dapat didukung oleh Kementerian LHK dalam EBT adalah mendorong Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk Bioenergi, pemanfaatan jasa lingkungan air untuk teknologi mikrohidro, pemanfaatan sampah menjadi energi listrik, dan pemanfaatan panas bumi atau geothermal.

Selain itu Kementerian LHK terus mendorong pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk bioenergi atau singkatnya adalah Hutan Tanaman Energi (HTE). Pelepasan kawasan hutan 6,91 juta Hektare (Ha) yang 78,39 persen adalah sawit yang juga berpotensi untuk menjadi sumber bioenergi. Selain itu, izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 0,44 juta Ha adalah HTI untuk sektor energi.

“Hal lain dari Kementerian LHK untuk mendukung terciptanya EBT adalah adanya kebijakan dan regulasi usaha pengembangan hutan tanaman energi yaitu Peraturan Menteri LHK Nomor 62 Tahun 2019 dan Nomor 11 Tahun 2020. Kemudian, penerapan sistem agroforestry pada hutan tanaman dimaksudkan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Kementerian LHK juga telah menyusun nota kesepahaman dengan Kementerian ESDM tentang pengembangan EBT di kawasan hutan,” jelas Siti.

Sebelumnya, Menteri LHK mengungkapkan sejumlah potensi terkait HTI untuk bioenergi, diantaranya adalah terdapat 14 unit usaha dengan luas alokasi untuk tanaman energi seluas 156,032 Ha dengan jenis tanaman berupa Sengon, Kaliandra, Akasia, Bakau, Gamal, Bambu dan sebagainya. Terdapat juga 18 unit usaha di 10 Provinsi yang berkomitmen mengembangkan bioenergi, dengan luas alokasi untuk tanaman energi seluas 46.600 Ha.

Contoh penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dari Kementerian LHK yang dapat mendukung EBT adalah teknologi mikrohidro yang dapat menjadi pembangkit listrik tenaga air skala kecil dengan batasan kapasitas antara 5 kW hingga 1 MW per unit. Pemanfaatan jasa lingkungan air sebagai mikrohidro ini dapat membantu daerah remote yang tidak terjangkau pembangkit dari PLN.

Dukungan lainnya agar EBT tercipta adalah mendorong pemanfaatan sampah menjadi energi listrik. Diperkirakan, total sampah yang bisa diolah mencapai 16 ton per hari, untuk menghasilkan listrik sebesar 234 MW. Beberapa lokasi percepatan pembangunan fasilitas Pembangkit Listrik Teknologi Sampah (PLTSa) antara lain Palembang, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, DKI Jakarta, Kota Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Denpasar, Surabaya, Manado dan Makassar.

Potensi EBT lainnya adalah panas bumi atau geothermal yang di Indonesia mencapai hingga sebasar 14.961 MW. Jumlah tersebut, sebesar 12.705 MW berada di kawasan konservasi yang menyebar di 18 Provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Maluku.

Oleh karena itu penciptaan dan pemanfaatan EBT di Indonesia diharapkan dapat meningkat hingga sebesar 50 persen pada 2050, agar penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara dapat berkurang hingga 50 persen pada tahun yang sama.

Siti menegaskan pada dialog kali ini bahwa, Indonesia termasuk negara yang cukup baik dalam upaya pengendalian perubahan iklim yang dibuktikan dengan keberhasilan kinerja pengurangan emisi GRK periode 2014-2016 dengan volume pengurangan emisi sekitar 20,3 juta ton CO2e.

Hasil positif tersebut membuat Indonesia menerima dana sebesar 103,8 juta Dolar Amerika dari Green Climate Fund (GCF) melalui skema Result Based Payment (RBP). Melalui skema yang sama juga, Indonesia menerima 56 juta Dolar Amerika dari Norwegia atas keberhasilan penurunan emisi GRK.