Short Sea Shipping, Manfaat dan Mudaratnya Jika Diteruskan

:


Oleh Dian Thenniarti, Kamis, 17 September 2020 | 07:56 WIB - Redaktur: Untung S - 1K


Jakarta, InfoPublik - Program Pemerintah berupa pelayaran jarak pendek atau Short Sea Shipping (SSS) yang kini sedang marak dilakukan memunculkan tanggapan dari sejumlah pihak, tidak hanya asosiasi industri perairan (operator dibidang penyeberangan) sendiri, namun juga akademisi hingga pemerhati kebijakan publik yang memberikan masukan bersifat senada.

Sejumlah pihak-pihak terkait ini, memberikan pandangan dan masukkannya bagi Pemerintah terhadap pengembangan program tersebut.

Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) memandang, pengoperasian Short Sea Shipping ini berpotensi memicu berbagai persoalan. Mulai dari gesekan atau himpitan lintasan dengan penyeberangan, tumpang tindih perizinan, hingga mengancam investasi.

"Program Short Sea Shipping ini bukan program yang jelek, bukan juga program yang membahayakan, namun terhadap program-program ini sebaiknya Pemerintah melihat dampak yang akan ditimbulkan, seperti potensi lintasan berhimpit antara satu sama lain. Jika tidak dikoordinasikan secara baik akan menimbulkan masalah dan mengancam investasi," ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo pada Diskusi Online Forum Wartawan Perhubungan (Forwahub) di Jakarta, Rabu (16/9/2020).

Potensi lintasan berhimpit tersebut, lanjut dia, dapat terjadi dikarenakan perijinan yang dikeluarkan oleh dua Direktorat dalam satu Kementerian Perhubungan. Yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat) dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) tanpa adanya koordinasi dan batasan yang jelas, baik dari sisi jarak lintas maupun spesifikasi kapal yang digunakan.

Sebagai contoh, Khoiri menyebutkan sejumlah lintasan pelayaran jarak pendek yang dioperasikan berhimpit, di antaranya Lintasan Lembar-Padangbai dan Ketapang-Gilimanuk (Ditjen Hubdat) dengan Lintasan Tanjung Wangi-Lembar (Ditjen Hubla), Lintasan Surabaya-Lembar terdapat dua perusahaan yang mengoperasikan kapal di lintas yang sama dengan perizinan yang berbeda di mana satu menggunakan perizinan Ditjen Hubdat dan satunya lagi menggunakan perizinan Ditjen Hubla. Kemudian Lintasan Merak-Bakauheni (Ditjen Hubdat) dan Bojonegara-Bakauheni (Ditjen Hubla) dan Lintasan Merak-Bakauheni (Ditjen Hubdat) dan Ciwandan-Panjang (Ditjen Hubla).

"Dari pelaksanaan lintas short sea shipping tersebut, terkesan tidak ada sinkronisasi kebijakan dalam satu kementerian terhadap moda yang sama dan segmen pasar yang sama. Ini praktik saling ‘membunuh’ antara lintas yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut," ujar Khoiri.

Adapun akibat yang ditimbulkan dengan beroperasinya lintasan berhimpit antara lain, lintas penyeberangan yang ada terlebih dahulu akan mengalami pengurangan muatan secara signifikan. Sehingga, pemerintah dan pengusaha yang telah berinvestasi di lintas penyeberangan semakin mengalami kesulitan dalam mengoperasikan kapal-kapalnya.

Padahal, kondisi bisnis penyeberangan saat ini semakin berat. Sejak semester I tahun 2020 kondisi ekonomi negatif ditambah lagi dengan pandemi Covid-19 yang benar-benar membuat kondisi dan tatatan usaha makin kacau tak terkecuali di bisnis penyeberangan.

"Kegiatan ekonomi menurun, arus penumpang dan kendaraan juga berkurang. Banyak anggota Gapasdap mengalami kesulitan likuiditas, bahkan sulit membayar gaji tepat waktu atau memenuhi kewajiban lain ke bank atau perusahaan leasing mitranya. Kini, ditambah ancaman baru muncul dengan hadirnya beberapa trayek baru SSS yang berhimpitan dengan lintasan penyeberangan yang dilayani anggota Gapasdap," katanya.

Atas dasar itu, Gapasdap mendesak Pemerintah cq. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk mempertimbangkan pengembangan program Short Sea Shipping (SSS) ini di beberapa titik di Tanah Air.

Senada dengan pandangan tersebut, pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio mengungkapkan, kisruh Short Sea Shipping (SSS) dengan angkutan penyeberangan merupakan dampak dari ambigunya regulasi yang dikeluarkan regulator dalam mengurusi aktivitas laut dan perairan, sehingga konflik usaha tidak dapat dihindarkan.

Menurut Agus, Kementerian Perhubungan harus memanggil seluruh pemangku kepentingan dan menyatukan dua regulasi ini. Dengan begitu, peraturannya menjadi kesatuan yang tidak saling tumpang tindih.

"Regulator tidak boleh menghitung urusan bisnis juga, karena jika diatur terlalu ketat bisnis bisa mati. Apalagi ketika dihadapkan persaingan yang lawannya memiliki kebebasan aturan. Sekarang ini penumpang berkurang, barang berkurang, sekarang duduk bersama saja, mau ditarik ke laut atau darat Menhub harus tentukan hal ini. Dualisme regulasi supaya tidak ada lagi," tegasnya.

Di samping itu, Agus juga meminta Kemenhub selaku regulator agar segera melakukan moratorium terhadap pemain baru perusahaan penyeberangan.

"Kalau program Short Sea Shipping tetap harus dilanjutkan, sebaiknya diberikan kepada perusahaan penyeberangan yang sudah ada, tinggal menggeser armadanya ke lokasi yang dibutuhkan," katanya.

Sementara itu, Anggota Ombudsman Alvin Lie menyebutkan, short sea shipping (SSS) yang diberlakukan pada moda transportasi perairan tak melulu soal bisnis, melainkan juga ada unsur pelayanan publik.

Hal ini merujuk pada Undang-Undang 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik pasal 5 ayat 3 huruf C yang berbunyi: Pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan.

"Angkutan short sea shipping ini murni dimodali oleh swasta dilaksanakan oleh swasta tapi ketersediaannya menjadi misi negara. Ini ditetapkan dalam peraturan perundangan dan peraturan presiden. Jadi ini bukan murni bisnis, tapi ada unsur pelayanan publik," ujarnya.

Sehingga pelayanan publik ini sifatnya non diskriminatif. Ada kepastian waktu, proses, kejelasan informasi dan sebagainya, serta ada sistem pengelolaan pengaduan. Ini yang harus diperhatikan, bahwa penyelenggara pelayanan publik ini selain harus mentaati, juga punya hak-hak selaku pengusaha juga diperlakukan non diskriminatif oleh pemerintah.

Berlandaskan Perpres nomor 26 Tahun 2012 khususnya pada bab 5 tentang peta panduan atau road map rencana dan aksi infrastruktur transportasi, Short Sea Shipping ini merupakan salah satu program pemerintah.

"Dulu juga ada untuk membangun konektivitas ini diberikan insentif kepada pelaku dan penyedia jasa logistik yang bergerak dalam jalur Short Sea Shipping, apakah ini terlaksana atau tidak?," ucapnya.

Disamping itu, Short Sea Shipping ini ditujukan untuk mengurangi beban jalan. Diantaranya termasuk mengurangi beban biaya pemeliharaan Jalan, BBM subsidi, mengurangi emisi gas buang. Bahkan jika dikaitkan dengan pemerintahan Pak Jokowi, ini juga bagian dari implementasi program tol laut.