Big Data Tingkatkan Penerimaan Pajak dan Cegah Korupsi

:


Oleh lsma, Sabtu, 15 Februari 2020 | 09:21 WIB - Redaktur: Untung S - 833


Purwakarta, InfoPublik - Kesadaran akan fungsi sentral pajak bagi kemajuan Indonesia perlu terus digaungkan. Big Data adalah solusi meningkatkan penerimaan negara dan mencegah korupsi.

Hadi Poernomo, Direktur Jenderal Pajak Periode 2001 – 2006 serta Ketua BPK RI Periode 2009 - 2014 memaparkan secara konseptual dan terstruktur grand strategy DJP 10 tahun (2001 s/d 2010) untuk mewujudkan Big Data. Dengan tujuan untuk mencapai amanat konstitusi negara kita: mewujudkan masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Keadilan dan kemakmuran hanya dapat diwujudkan apabila berbagai kecurangan termasuk korupsi dapat diberantas secara sistemik. Menurutnya, kunci dari grand strategy ini terletak pada transparansi,” kata Hadi Poernomo dalam Kongres I Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) di Purwakarta, Jumat (14/2/2020).

Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo yang hadir dalam kongres itu mengatakan big data menciptakan integrasi seluruh data sehingga pengawasan lebih optimal dan kecepatan pengolahan meningkat.

Dengan terhubungnya seluruh data wajib pajak dengan lawan transaksinya, lanjut dia, maka pengawas pajak secara otomatis mencocokkan antara data SPT pajak dengan data lawan transaksi wajib pajak.

"Big data bahkan dapat menghitung total pajak wajib pajak karena seluruh data transaksinya tersedia di pusat data. Mekanisme ini akan membuat penerimaan pajak tercapai," imbuhnya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat rasio pajak tahun 2019 masih di bawah 11 persen.

Penerimaan pajak 2019 juga tidak mencapai target, yaitu terealisasi Rp1.332 triliun atau 84,4 persen dari target sebesar Rp1.577,6 triliun.

Untuk mencapai target penerimaan pajak di 2020, pertumbuhan penerimaan perlu meningkat sebesar 23,3 persen dari realisasi 2019.

Sedangkan target penerimaan pajak dalam APBN 2020 mencapai Rp1.642,57 triliun, naik 4,12 persen dari target 2019 senilai Rp1.577,6 triliun.

Hadi Poernomo menambahkan, kendala utama tidak dapat terwujudnya transparansi bersumber pada kerahasiaan.

Kendala tersebut meliputi:

  1. Pasal 40 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (kreditur bank merupakan rahasia);
  2. Pasal 41 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (debitur bank merupakan rahasia);
  3. Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa (Laporan Lalu Lintas Devisa merupakan rahasia);
  4. Pasal 26 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU (kegiatan pencucian uang dan transaksi mencurigakan tidak dapat diakses pajak karena termasuk rahasia bank);
  5. Pasal 1 Keppres Nomor 68 Tahun 1983 tentang Deposito (deposito merupakan rahasia);
  6. Pasal 5 dan Pasal 6 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 (tidak dilaksanakannya penyampaian NPWP dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit);
  7. Pasal 47 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (informasi pelaku pasar merupakan rahasia);
  8. Belum ada pengaturan mengenai data pemegang kartu kredit.

Hadi Poernomo menuturkan, berkaca pada sejarah perpajakan di Indonesia pada tanggal 31 Desember 1965 terbit Perpu Nomor 2 Tahun 1965 tentang Kebijaksanaan Penerimaan Negara Tahun 1966, dengan bunyi Pasal 12 ayat (2) adalah “Untuk pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan Perpu ini, Bank-bank memberikan semua keterangan yang dianggap perlu oleh Menteri Iuran Negara”.

Dalam penjelasannya : “……bahwa untuk kepentingan Iuran Negara maka Rahasia sepenuhnya ditiadakan”.

Menurut, grand strategy untuk menghapus kendala kerahasiaan dengan meluncurkan Reformasi Perpajakan Tahun 2001 yang terakomodasi dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang APBN Tahun Anggaran 2002 dengan fokus utama pada pengembangan sistem informasi dan monitoring perpajakan yang terintegrasi dan on-line antar unit-unit terkait.

“Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui Big Data,” tegas Hadi.

Ia memaparkan, Big Data mengintegrasikan secara otomatis (linking by system) data-data finansial maupun nonfinansial di luar aparat pajak ke dalam Bank Data Pajak yang terpusat secara nasional, lalu melakukan proses pencocokan (matching) data lawan transaksi dengan SPT Wajib Pajak.

Mekanisme ini membuat Direktorat Jendral Pajak mampu mendeteksi kecurangan secara otomatis dan menciptakan kondisi “terpaksa jujur” secara sistem, tidak hanya terkait kecurangan pajak namun juga seluruh kecurangan yang terjadi termasuk korupsi.

Big Data secara konsisten menjadi agenda dalam serangkaian UU APBN meliputi UU Nomor 29 Tahun 2002 tentang APBN TA 2003, UU Nomor 28 Tahun 2003 tentang APBN TA 2004, UU Nomor 36 Tahun 2004 tentang APBN TA 2005, dan UU Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN TA 2006.

Dunia internasional mengamini konsep transparansi yang digagas Hadi Poernomo dan bahkan berhasil membuat Pemerintah berkomitmen untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) sehingga terbitlah Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017 tanggal 23 Agustus 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (UU AEOI).

“UU AEOI menghapus kendala rahasia bank yang telah dirintis sejak tahun 1965 sejak era Presiden Soekarno, Big Data adalah solusi meningkatkan penerimaan negara dan mencegah korupsi,” tegas Hadi.