Kementan Desain Kawasan Buah dan Tanaman Hias Orientasi Ekspor

:


Oleh Baheramsyah, Minggu, 20 Oktober 2019 | 00:25 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 744


Jakarta, InfoPublik - Indonesia berpeluang mengisi pasar buah nasional, regional bahkan global. Produksi buah-buahan Indonesia tercatat 21 juta ton, namun nilai ekspor baru mencapai 317 ton atau baru sekitar 1,5 persen. Kualitas, kuantitas dan kontinuitas buah-buahan nasional sebagai prasyarat ekspor terus menjadi perhatian Kementerian Pertanian. Dengan demikian desain pengembangan buah nasional harus disesuaikan dengan dinamika global yang terus berkembang.

"Peluang buah dan tanaman hias dari negara tropis seperti Indonesia terbuka sangat lebar. Potensi tersebut harus diimbangi dengan kesiapan kualitas dan memiliki daya saing. Produknya harus bisa tersedia kapan saja dibutuhkan sesuai spesifikasi yang diminta," ujar Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Yasid Taufik dalam keterangannya, Sabtu (19/10/2019).

Problem mendasar buah-buahan nasional, kata Yasid, bukan karena tidak ada barangnya, tapi terpencar kecil-kecil di banyak lokasi sehingga biaya operasional dan distribusinya tinggi.

"Tantangan persaingan pasar global dan proteksi dari negara-negara tujuan ekspor semakin ketat. Skema tarif makin tidak populer. Akan lebih banyak pertarungan non tarif measurements (NTMs). Butuh tim negosiator dagang yang handal agar produk hortikultura kita bisa dipasarkan lebih luas lagi. Kebun-kebun buah yang tersertifikasi GAP juga harus ditingkatkan jumlahnya," imbuhnya.

Direktur Buah dan Florikultura Kementerian Pertanian, Liferdi Lukman menekankan pentingnya skala usaha dan keterpaduan dalam pengembangan buah dan florikultura nasional.

"Kita harus keluar dari mindset lama yang mengembangkan buah di spot-spot kecil. Desain kawasan produksi ke depan harus memenuhi skala ekonomi tertentu dan ramah terhadap tuntutan pasar lokal maupun ekspor. One region one variety atau satu kawasan satu varietas menjadi pilihan strategis. Sejak awal pelaku usaha perlu dilibatkan sebagai pengungkit pasar. Produk yang dihasilkan petani sejak awal sudah harus didesain untuk memenuhi standar permintaan pasar," ujar Liferdi.

Konsep dasar pembagian perannya, kata Liferdi, adalah Direktorat komoditas menjadi imam, sedangkan direktorat dan instansi terkait lainnya mendukung. Misalnya Direktorat Buah dan Florikultura mengembangkan kawasan durian 200 hektare di satu daerah, harus didukung oleh lintas eselon 2, lintas eselon 1 bahkan lintas Kementerian/Lembaga. Bupati/Walikota setempat beserta dukungan SKPD," tandas Liferdi.

Liferdi menjelaskan, tahun 2020 pihaknya akan mengembangkan berbagai komoditas buah unggulan seperti manggis, mangga, durian, pisang, nenas, lengkeng, jeruk, salak dan alpukat. Selain itu kawasan tanaman hias berorientasi ekspor seperti krisan, mawar, melati dan leatherleaf juga akan dipacu.

"Varietas yang dipilih harus benar-benar unggul dan disukai pasar. Contoh manggis tembilahan, durian tembaga, pisang mas kirana, jeruk gerga, lengkeng kateki, nenas smooth cayene, mangga arumanis, salak pondoh dan sebagainya. Pelaku usaha kita ajak terlibat sejak awal di kawasan-kawasan pengembangan buah dan florikultura tersebut agar apa yang diproduksi nyambung dengan keinginan pasar," paparnya.

Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto mengatakan, selama ini pengendalian OPT Hortkultura pada umumnya dilakukan secara kuratif atau setelah terjadi serangan OPT. Perlu diubah mindset dari kuratif menjadi preventif.

"Petani perlu didampingi agar mampu menerapkan PHT mulai dari pengolahan tanah, penggunaan benih sehat, kesehatan tanah, agroekosistem, budidaya tanaman sehat. Implementasinya harus bersinergi antara petani, penyuluh dan dinas Pertanian setempat," ujar Anton, sapaan akrabnya.

Poin yang tidak kalah pentingnya mendukung kesuksesan program tersebut adalah pengawalan budidaya. Anton menambahkan bahwa penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang berlebihan bisa merusak lingkungan terutama fisik tanah. Risikonya bisa berdampak pada kesehatan masyarakat.

"Perbanyak penggunaan pupuk organik dan bahan pengendali OPT ramah lingkungan dalam berbudidaya hortikultura. Semua Eselon II di lingkup Ditjen Hortikultura harus kompak bersama - sama dalam mengawal daerah kawasan hortikultura," tegasnya.

Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf menjelaskan tantangan perdagangan bebas harus disikapi dan disiapkan. Saat ini regulasi yang mengatur klinik PHT milik petani kecil dalam memproduksi dan mengedarkan bahan pengendali ramah lingkungan masih banyak dikeluhkan petani. "Persyaratan SPS-WTO harus dapat dipenuhi dengan cara melakukan penguatan kelembagaan secara intensif, pengelolaan OPT di kawasan hortikultura secara masif dan berkelanjutan," kata Yanti.

Yanti menambahkan bahwa Grand Design Perlindungan Hortikultura dirancang mampu mendukung pemenuhan kebutuhan produk hortikultura berkualitas baik di dalam negeri maupun ekspor. Peran UPTD Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura di seluruh Indonesia akan direvitalisasi guna memonitor dan menyediakan data OPT dan Dampak Perubahan Iklim (DPI).

"Di lapangan, terus kita upayakan optimalisasi Petugas Pengamat OPT dan terus kita dorong dengan penerapan E-Konsultasi perlindungan Hortikultura. Tentu pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi mengawal Grand Design Perlindungan Hortikultura ini," ungkapnya.