Masyarakat Tani Harus Mampu Hadapi Perkembangan Zaman

:


Oleh lsma, Kamis, 13 Desember 2018 | 13:58 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 1K


Jakarta InfoPublik - Para petani dan dunia pertanian harus mampu menghadapi perkembangan zaman di era disrupsi, yakni masa di mana terjadi perubahan yang sangat mendasar di berbagai sektor kehidupan.

Perubahan tersebut berlangsung amat cepat dan tak ada satu orang pun mampu menghentikannya. "Mereka yang tak bisa mengikuti perkembangan di era disrupsi ini akan tertinggal dan tergilas yang kemudian cenderung menyalahkan orang lain," kata Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko dalam acada CEO Forum di Jakarta, Kamis (13/12).

Moeldoko menambahkan, perubahan cepat tersebut telah mendorong dunia memasuki era revolusi industri yang ke-empat atau disebut juga Industri 4.0 yang ditandai dengan penggunaan mesin-mesin otomasi yang terintegrasi dengan jaringan internet.

Pada era ini kegiatan pertanian berlangsung sangat efisien dan efektif sehingga mampu meningkatkan produktivitas secara sangat signifikan dan berdaya saing.

Menurutnya, ada lima teknologi utama yang menopang implementasi Industri 4.0, yaitu Internet of Things, Artificial Intelligence, Human-Machine Interface, Teknologi Robotic dan sensor, serta Teknologi 3D Printing.

"Semua itu akan mengubah cara manusia berinteraksi hingga pada level yang paling mendasar, serta sekaligus dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing industri, termasuk industri pertanian," ujar Moeldoko yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

Dijelaskannya, Revolusi Industri 4.0 menjadi titik balik fudamental bagi perubahan pada berbagai sektor pertanian, tidak terkecuali pada agro industri. Maka era digitalisasi pada revolusi Industri 4.0, mau tidak mau membuat para pemangku kepentingan di sektor pertanian harus mampu mempersiapkan diri dan berdaptasi dengan perubahan tersebut untuk menjawab tantangan masa depan serta mengubah ancaman menjadi peluang.

Namun masalahnya adalah, seperti negara lain, Indonesia juga menghadapi era industri 4.0 yang arahnya belum benar-benar dipahami. Oleh karena itu, bersiap diri untuk mengantisipasinya adalah langkah terbaik.

Mejurutnya, sebagian besar petani kita masih bertani secara tradisional dan masih memiliki lima persoalan krusial. Persoalan itu adalah: Pertama pemilikan lahan yang terbatas, rata-rata hanya 0,2 hektar. Kedua, kondisi tanah yang sudah rusak akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan.

Ketiga, aspek kurangnya permodalan dan rendahnya kualitas manajemen. Keempat, lemahnya penguasaan teknologi. Dan, kelima adalah kesulitan dalam penanganan pasca panen.

Menghadapi situasi ini, HKTI sudah hadir dengan memerankan diri sebagai ‘bridging institution’ dalam memecahkan persoalan petani tadi. HKTI telah berusaha menjembatani petani dengan pemerintah, dunia riset, dan para pebisnis atau pengusaha.

Sehingga jika keempat unsur tadi bisa dijembatani dengan baik, maka sesungguhnya semua kepentingan bisa diakomodasi dengan baik pula.

Dalam hal teknologi, lanjut Moeldoko, HKTI telah mengembangkan bibit padi unggul varietas M400 dan M70D yang mampu menghasilkan panen lebih dari 9 ton per hektar, serta pupuk organik yang dapat memperbaiki kualitas hara tanah sehingga menjadi subur kembali untuk ditanami. HKTI juga telah mengembangkan teknologi drone pertanian dan saat ini tengah menjajagi pembuatan mobil listrik pedesaan untuk membantu petani di daerah, dan lain-lain.

Dari sisi permodalan, saat ini HKTI sudah melakukan penjajagan kerja sama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk menggelontorkan dana KUR kepada petani. Kami sudah sepakat mempersiapkan Mou dengan BRI. Harapannya, kredit tersebut bisa dimanfaatkan seluas-luasnya dan sebaik-baiknya oleh petani.

"Kami ingin sampaikan pula bahwa pihak perbankan tidak perlu merasa khawatir menyalurkan kredit atau modal kepada petani. Sebab petani adalah pelaku ril pertanian di lapangan," katanya.

Sedangkan untuk solusi pasca panen dan pemasaran, HKTI sudah membangun akses pasar bagi produk-produk pertanian dengan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, antara lain pihak-pihak yang bersedia menjadi off-taker produk pertanian. Program ini sudah berjalan dan akan terus dikembangkan.

Perlu juga kami tegaskan bahwa HKTI merupakan mitra strategis pemerintah untuk mendorong terciptanya kedaulatan pangan nasional. Jadi HKTI harus memberikan bantuan dan dorongan dari berbagai sisi karena tujuan HKTI, di samping menyejahterakan petani, juga ingin bersama-sama pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan, bukan hanya swasembada pangan.

Dengan langkah-langkah tersebut, HKTI secara bertahap memberikan solusi bagi bangsa dan negara melalui karya nyata yang memberikan dampak sosial dan ekonomi yang dirasakan langsung oleh masyarakat, khususnya petani yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia.

"Kita bangga Indonesia memperoleh apresiasi dari FAO atas capaian pembangunan pertanian Pemerintah RI dan menilai Indonesia memiliki peluang untuk mengekspor produk pertaniannya dengan adanya kenaikan produksi. Namun menurut FAO, untuk memasarkan produk pertanian ke luar negeri, produk itu sendiri harus berdaya saing, efisien, dan spesifik, dan organik," jelas Moeldoko.

FAO berharap agar Indonesia dapat menjadi promotor sistem pertanian low external input sustainable agriculture (Leisa) dan organik. Leisa merupakan sistem pertanian berkelanjutan dengan input luar yang rendah dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal dengan efisien.

Kedaulatan pangan merupakan salah satu program prioritas pemerintah saat ini, tercantum dalam Nawa Cita agenda ke-7, yaitu “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”. Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai kekuatan untuk mengatur sistem dan masalah pangan secara mandiri.

Untuk terciptanya kedaulatan pangan maka perlu dukungan berupa: Pertama, ketahanan pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri. Kedua, pengaturan kebijakan pangan, yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa sendiri. Ketiga, mampu melindungi dan mensejahterakan pelaku utama pangan, terutama petani dan nelayan.

Untuk menopang kedaulatan pangan dari sisi permodalan, pemerintah sudah punya program KUR (Kredit Usaha Rakyat). KUR yang bernilai ratusan triliunan rupiah merupakan potensi besar yang bisa diakses petani untuk mengatasi permodalan. Kami optimistis melalui KUR masalah permodalan petani dapat diatasi.

Akhirnya HKTI mengajak semua pihak bersama-sama membangun kedaulatan pangan nasional di tengah era revolusi industri 4.0. Peningkatan produksi pangan selain menggunakan teknologi modern, juga tetap memadukannya dengan kearifan lokal (local wisdom), sehingga pembangunan pertanian Indonesia tetap memiliki nilai-nilai budaya dan tradisi yang menjadi bagian dari kehidupan petani dan bangsa Indonesia pada umumnya.