Pemerintah Gandeng Akademisi Perangi Bahaya AMR dan PIB

:


Oleh Baheramsyah, Minggu, 18 November 2018 | 21:07 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 414


 

Jakarta,InfoPublik - Dalam rangka memerangi bahaya Resistensi Antimikroba dan menekan laju pertumbuhannya, pemerintah menggandeng semua pihak untuk ikut serta terlibat di dalamnya. Selain masyarakat dan peternak, kali ini pemerintah melalui Kementerian lintas sektor, mulai dari Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan organisasi lainnya yaitu FAO, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) dan Indonesian One Health University Network (INDOHUN) menggandeng peran akademisi dengan melakukan public awwarness di acara Studium General (Kuliah Umum) Universitas Brawijaya, Malang.

Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan Pekan Kesadaran Antibiotik Se-dunia yang diadakan untuk meningkatkan kesadaran para akademisi akan bahaya resistensi antimikroba (antimicrobial resistance / AMR), yang pada acaranya ini juga membahas ancaman penyakit infeksi baru (PIB).

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (18/11), Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian Syamsul Ma'arif menyampaikan, tujuan diadakannya kuliah umum mengenai AMR ini adalah untuk mengajak mahasiswa sama-sama ikut serta memerangi laju resistensi antimikroba dan mengendalikan penyakit infeksi baru. "Terutama ini bagi adik-adik kita yang akan lulus dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Kesehatan Masyarakat serta fakultas teknis lainnya agar bisa menjadi agen perubahan untuk mencapai kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan yang optimal,” ucap Syamsul Ma'arif.

Ia katakan bahwa berdasarkan laporan global review yang dirilis pada 2016 menggambarkan model simulasi dimana kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada 2050. Di tahun itu, diperkirakan kematian mencapai 10 juta orang per tahun dan angka tertinggi terjadi di Asia.

Senada dengan Kementan, Yulianto Santoso, Dokter Spesialis Anak yang juga mewakili Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) mengatakan, dirinya sering menghadapi pasien yang sulit disembuhkan hingga meninggal dunia karena obat-obatan tidak lagi mempan membunuh kuman penyakit. Perilaku kita semua yang tidak tertib menggunakan antibiotik sesuai aturan, termasuk kemudahan masyarakat untuk membelinya dinilai dr. Yulianto sebagai pemicu terjadinya resistensi antimikroba.

“Hasil survey yang pernah kami lakukan menyatakan dari tahun ke tahun penggunaan antibiotik untuk batuk pilek, dan diare tetap tinggi yaitu sekitar 60 persen. Pasien pergi ke puskesmas karena batuk pilek, juga dikasih antibiotik. Jika tidak dikendalikan, 10 juta jiwa akan meninggal setiap tahun pada 2050. Itu berarti setiap satu menit ada 19 kematian akibat infeksi bakteri yang tidak bisa disembuhkan" jelasnya.

Kemenko PMK dalam paparannya menyebutkan, para pakar kesehatan hewan dunia telah mengelompokkan pathogen (kuman berbahaya penyebab penyakit) dari 3 area, yaitu 1.415 pathogen pada manusia, 372 pathogen pada karnivora domestik (anjing,kuncing, dsb) dan 616 pathogen penyakit pada ternak.

“Dalam dekade terakhir memang wabah akibat virus menjadi sorotan dunia seperti virus flu H1N1, Ebola, Mers-CoV dan Zika. Namun ternyata perubahan karakter pathogen juga sedang terjadi pada bakteri, yang secara terus menerus bertambah kebal dari berbagai golongan antibiotik,” jelas Rama Fauzi dari Kemenko PMK.

Konsep One Health Untuk Pengendalian AMR dan PIB

Dalam Agenda Ketahanan Kesehatan Global (GHSA) ditekankan bahwa pentingnya pendekatan multidisipin dan multisektoral untuk memperkuat kapasitas global dan negara untuk mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman penyakit-penyakit infeksius, baik yang yerjadi secara alamiah, disengaja maupun yang tidak disengaja.

Berangkat dari hal tersebut, pada tahun 2016 masyarakat dunia menyepakati usulan rencana aksi global (Global action plan) yang mengamanatkan kepada setiap Negara untuk menyusun rencana aksi nasional yang berfokus pada 5 tujuan strategis pengendalian AMR.

Pemerintah Indonesia menyambut rencana aksi global ini dengan ikut meratifikasi beberapa kesepakatan regional yang secara khusus berkomitmen pada upaya pengendalian AMR dan AMU. Komitmen ini tertuang dalam kesepakatan Menteri Pertanian di ASEAN (MAFF ASEAN) dan Kelompok anggota G-20 di tahun 2016,

Untuk menindaklanjuti Rencana Aksi Global tersebut, Kementerian Pertanian bersama dengan kementerian dan Lembaga terkait, telah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk 2017 - 2019. Menurut Syamsul Ma'arif, Kementerian Pertanian telah melaksanakan langkah strategis antara lain: a) Sisi regulasi melalui Permentan telah melarang penggunaan antibiotik sebagai growth promoter sebagai bentuk pengendalian resistensi antimikroba; b) Berperan aktif dalam pembuatan dan menyepakati NAP (Nasional Action Plan atau Rencana Aksi Nasional) penanggulangan AMR bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertahanan, BPOM dan beberapa Kementerian serta lembaga pemerintah lainnya dalam kerangka pendekatan “One Health”; c) Melakukan surveilans Resistensi Antimikroba di berbagai wilayah d) Telah melakukan survey penggunaan antimikroba (AMU = Antimicrobial Usage) di tiga provinsi
(e). Melakukan Kuliah Umum (Studium General) untuk meningkatkan kesadaran penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab di beberapa fakultas kedokteran hewan f)Merancang pembuatan Komite Pengendali Resistensi Antimikroba (KPRA);

Kementerian Pertanian tidak bisa bergerak sendiri dalam pengendalian AMR dan PIB, karena memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh yang merupakan inti dari pendekatan One Health yang menekankan komunikasi, kolaborasi dan koordinasi lintas sektor lintas disiplin ilmu baik di tingkat lokal dan global.

"Perlu sektor kesehatan manusia, sektor kesehatan lingkungan dan pemangku kepentingan terkait melalui pendekatan One Health untuk bersama-sama menahan laju resistensi antimikroba" tuturnya.