Pataka Nilai Impor Jagung Tepat Meski Terlambat

:


Oleh Baheramsyah, Kamis, 8 November 2018 | 18:32 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 633


Jakarta,InfoPublik - . Pemerintah melalui Kementerian  Koordinator (Kemenko) Perekonomian memutuskan impor jagung maksimum 100.000 ton tahun ini melalui Perum Bulog. Namun langkah tersebut dinilai tepat meski agak terlambat, mengingat dalam waktu dekat aka nada panen raya jagung.

Direktur Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika mengatakan, keputusan importasi jagung yang dilakukan oleh Kemenko Perekonomian sudah merupakan langkah tepat. Hanya saja, kebijakan ini dinilai terlambat mengingat masa panen akan datang dalam waktu dekat.

Berdasarkan pengalaman selama ini, impor membutuhkan waktu normal antara dua hingga tiga bulan. Apabila baru diteken November, diprediksi, jagung impor baru datang pada akhir Januari atau awal Februari.

“Bulan itu sudah memasuki panen  raya sehingga kalau nanti hasil produksi kita cukup, impor jagung akan menjadi  mubazir,” ungkap  Yeka dalam acara diskusi bertema Darurat Jagung di Jakarta, Rabu (8/11).

Dalam hal impor jagung ini Perum Bulog lah yang ditugaskan untuk melakukan impor. Yeka menilai, ada empat hal yang harus diperhatikan Bulog sebelum merealisasikan impor.

Pertama, Bulog harus memastikan jagung yang diimpor merupakan jagung yang berkualitas. Kedua, Bulog harus memastikan penyimpanan jagung dengan baik, sehingga kualitas jagung tidak menurun.

Ketiga, Bulog harus memastikan distribusi jagung di wilayah yang tepat, alias dekat dengan sentra peternak rakyat. Pasalnya keputusan impor memang dilakukan atas dasar hal tersebut.

"Jangan sampai nyimpan di gudang di tempat yang tidak dibutuhkan. Misal buat peternak rakyat ada di Blitar tapi simpannya di Karawang," tuturnya.

Keempat, jagung harus cepat didistribusikan. Pasalnya panen raya diperkirakan akan terjadi di bulan Februari-Maret 2019. Maka jagung impor harus dikucurkan sebelum panen raya.

Disamping itu, mekanisme pembayaran harus diatur sedemikian rupa, sehingga tidak memberatkan peternak rakyat yang membeli jagung impor. Hal itu demi memastikan jagung impor bisa diserap dengan baik oleh peternak.

"Jika mekanisme pembayarannya memberatkan peternak rakyat, bias saja peternak rakyat tidak jadi membeli jagung impor, apalagi dalam waktu dekat akan terjadi panen raya," tambahnya.

Di samping itu, Yeka juga mempertanyakan pernyataan Kementerian Pertanian yang memproduksi isu surplus jagung hingga 12,92 juta ton akibat adanya luas panen jagung sekitar 5,3 juta hektare. Satu hektare lahan biasa membutuhkan benih jagung rata-rata sebesar 20 kilogram, sehingga pada 2018 membutuhkan 106 ribu ton benih. Sementara itu, kapasitas produksi benih nasional tidak pernah melebihi 60 ribu ton.

Pernyataan surplus juga harus dikaitkan dengan keluhan harga jagung dalam negeri. Ketika masih ada impor jagung, misalnya 3,2 juta ton pada 2015, sering ada keluhan bahwa harga jagung dalam negeri anjlok. "Apabila surplus sampai 10 juta ton saja, tidak terbayang bagaimana keluhan petani jagung. Mereka bisa tidak mau menanam jagung lagi di musim berikutnya karena harga jagung yang jatuh tidak karuan," tuturnya.

Yeka menjelaskan, apabila ada surplus jagung, pemerintah juga tidak perlu mengadakan impor gandum untuk pakan. Tapi, berdasarkan data Grain Report United States Department Agriculture, pemerintah justru membuka impor gandum untuk pakan 3,1 juta ton pada periode 2018. Angka ini meningkat dibanding tahun 2017, yakni 2,8 juta ton dan 1,8 juta ton pada 2016.

Selain dari sisi ekonomis, industri juga mengalami kerugian ketika impor gandum untuk pakan. Dibanding dengan menggunakan jagung sebagai pakan, ternak yang mengonsumsi gandum cenderung memiliki tingkat produktivitas yang lebih rendah.

"Jadi, importasi gandum untuk pakan jelas keliru karena sudah ada produk pakan lain yang lebih baik dan murah, yakni jagung," ucap Yeka.

Sementara itu, Presiden Forum Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi menuturkan, harga jagung di tingkat peternak saat ini sudah menyentuh Rp 5.800 sampai Rp 6.000 per kilogram. Nominal ini melebihi harga acuan penjualan konsumen untuk jagung sebesar Rp 4.000 per kilogram berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018.

Musbar berharap, kedatangan jagung impor dengan kuota 100 ribu ton dapat dituntaskan dalam waktu cepat. Setidaknya, pada pekan pertama Desember, peternak ayam layer dapat memanfaatkan jagung impor sudah bisa masuk dan bisa digunakan oleh peternak ayam layer untuk membantu kestabilan harga di pasaran.

Apabila impor jagung baru terealisasi pada awal 2018, Musbar khawatir akan mubazir seperti yang sempat terjadi pada tahun lalu. Waktu itu, jagung yang di impor Bulog hingga 200.000 ton tidak semuanya dapat terbeli oleh peternak ayam mandiri karena masuknya bersamaan dengan panen raya. "Harga jagung di petani saat itu lebih murah dibanding jagung impor, jadi peternak memilih jagung di petani lokal," ujarnya.