Ketika Atlet Milenial Kehabisan Baterai

:


Oleh Gusti Andry, Kamis, 18 Juli 2019 | 22:01 WIB - Redaktur: Noor Yanto - 876


Semarang, InfoPublik – Sebagai tuan rumah tak akan lepas dari pepatah lama, tamu adalah raja. Memberikan pelayaan maksimal, demi kenyamanan tamu, mutlak dilakukan. Apalagi tamu Indonesia di ASEAN Schools Games 2019 kali ini adalah sosok muda berprestasi dari 10 negara di kawasan Asia Tenggara.

Masalahnya, ujar Elsa Tamti Denasia, sebagian besar atlet negara tetangga yang berlaga di Semarang, 18-24 Juli 2019 ini, tidak bisa berbahasa Inggris. “Seperti tim tenis meja dari Vietnam ini, dari 11 orang, hanya satu, pelatihnya,  yang bisa Bahasa Inggris,” kata gadis 24 tahun, Liasson Officer (LO) di perhelatan internasional tersebut.

Padahal, lanjut mahasiswi Unika Soegijapranata Semarang ini, sejumlah persoalan kadang butuh penanganan yang istilahnya sulit sulit gampang. Contoh saja,  para atlet ini adalah anak-anak milenial yang  sangat bergantung pada gadget. Setelah perjalanan panjang dari negara mereka, setiba di hotel, Rabu (17/7) malam, mereka buru-buru berebut stop kontak untuk mengisi ulang baterai ponsel.

Sialnya, saklar yang ada di hotel hanya memiliki dua lubang. Sementara kabel penambah daya ponsel mereka mempunyai tiga kaki. Jadilah kepanikan singkat di antara para remaja itu. Yang jadi ketimpaan tentu saja Elsa sang LO tempat mereka mengadu. “Untunglah salah satu pelatih mereka yang bisa Bahasa Inggris menjelaskan kepada saya tentang persoalan yang dihadapi anak asuhnya,” cerita Elsa, Kamis (18/7), ditemui di Stadion Tri Lomba Juang saat tamunya uji coba lapangan.

Dengan sigap, meski sudah larut malam, Elsa berinisiatif keluar hotel membelikan sambungan stop kontak agar charger ponsel yang tidak ber-SNI bisa digunakan.

Masih tentang sulitnya berkomunikasi, salah satu tim official dari Negara Vietnam ternyata datanya belum tercatat di list yang dipegang Elsa. Bahkan, sesama rombongan mereka pun tak menyangka satu pelatih itu turut serta. Alhasil, pihak hotel pun bingung ingin memberikan kamar yang mana untuknya.

Elsa berusaha menjelaskan baik-baik tentang persoalan administratif semacam ini harus dibereskan dengan petugas yang berwenang menangani. Namun, di mata si pelatih, Elsa seolah mempersulit kesertaannya dengan tidak memberi  kunci kamar hotel. “Masalah ini sudah saya laporkan dan sudah ditangani, tapi tetap saja sampai siang ini dia tidak mau senyum ke saya. Ya sudahlah, diajak ngomong juga susah,” kata Elsa.

Pulang larut malam sudah menjadi komitmen para relawan. Kontrak mereka selama 10 hari ini bekerja melayani kebutuhan kontingen dari pagi hingga waktu istirahat malam. Panitia sebenarnya menyediakan kamar di hotel untuk para LO menginap. Hanya saja jumlahnya tidak mencukupi.

Di Louise Kienne Hotel tercatat ada 14 LO yang bertugas melayani sejumlah kontingen. Sedangkan kamar untuk mereka hanya tersedia dua, yakni satu untuk LO laki-laki dan satu lagi untuk perempuan. “Karena saya tinggal di Semarang ini juga, jadi saya memilih pulang. Biarlah kamar itu dipakai oleh teman-teman yang ngekos,” kata warga Telaga Sari ini.