Sepak Sawut Permainan  Tradisonal  Kalteng

:


Oleh MC KOTA PALANGKA RAYA, Jumat, 21 Juni 2019 | 07:35 WIB - Redaktur: Yudi Rahmat - 2K


Palangka Raya, InfoPublik - Riuh sorak sorai  serta luapan kegembiraan terlihat pada sebuah lapangan ukuran mini atau lazimnya lapangan futsal, di area Taman Budaya Kalteng Komplek Pameran jalan Temanggung Tilung Kota Palangka Raya.

Ya, keramaian itu kian menjadi, manakala sebuah benda bulat yang memancarkan api membara terlihat melambung cukup tinggi kearah kerumunan orang yang tadinya bersorak sorai, namun kemudian kocar kacir manakala benda  membara tersebut mengarah  ke arah mereka.

Pemandangan ini tidak lain adalah merupakan salah satu kegiatan lomba permainan dari olahraga tradisional sepak sawut (sepak bola api), salah satu dari 22 mata lomba pada pelaksanaan Even akbar Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, yakni Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2019.

Pada perhelatan FBIM, maka sepak sawut salah satu lomba yang ramai ditonton atau disaksikan masyarakat, selain lomba tradisonal khas Kalteng lainnya, seperti tari daerah, karungut, mangenta, malamang. Lalu lomba mangaruhi, maneweng,  jukung hias, lomba balogo. Kemudian lomba bagasing-habayang, manyipet, lawang sakepeng ataupun lomba balap ces  alkon Borneo (120 Klotok/Ces Alkon).

Ramainya penonton menyaksikan lomba sepak sawut ini, mengingat cara permainannya seperti sepak bola atau bola futsal pada umumnya, namun yang membedakan bola yang digunakan terbuat dari bongkahan sabut kelapa tua yang telah kering dan serat-serat bola kelapa dipoles minyak tanah lalu dibakar sampai mengeluarkan api yang membara, kemudian dimainkan.

Bagi kita yang menyaksikan permainan ini tentu  menimbulkan pertanyaan, yakni apakah mereka atau para pemain sepak sawut ini tidak merasa sakit atau kepanasan. Mengingat bola yang digunakan dari bongkahan sabut kelapa tua, tentu berat tidak seperti bola kaki pada lazimnya. 

Apalagi bongkahan kelapa itu mengeluarkan api, dimana ketika bersentuhan dengan kaki atau sekujur badan para pemain yang nota bene  tidak menggunakan sepatu, tentu  bisa saja terbakar."Bakehu bulu buntis, amun jia mahir main nah,  (terbakar  bulu kaki, jika tidak mahir memainkan)," celoteh Dagong, peserta sepak sawut dari Palangka Raya dengan  menggunakan logat Dayak, usai lomba sepak sawut FBIM  2019 di Palangka Raya.

Namun begitu kata Dagong, sepanjang sejarah permainan langka ini digelar, tidak  sampai ada pemain yang terbakar atau merasa sakit setelah main sepak sawut. "Ya, paling tidak ada sedikit bagian tubuh, seperti rambut yang terkena percikan api. Makanya ketika bermain sepak sawut sekujur badan harus dioles odol (pasta gigi red) atau pelumas lainnya," ujar dia di Kamis malam (20/6/2019).

Apa yang dikatakan Dagong bukan tanpa alasan, buktinya pada lomba tersebut ada salah satu pemain yang  buru-buru mengibas-ngibas rambutnya manakala percikan api dari bola sawut sedikit membakar rambutnya. Ya, sungguh lucu, unik namun cukup ekstrim juga ditonton permainan sepak sawut ini.

Sepak sawut itu sendiri merupakan permainan tradisional yang ada di Indonesia ini, hanya ada pada daerah tertentu saja yang mengenal dan memainkannya. Namun bagi masyarakat Kalteng, permainan sepak sawut sangat digemari oleh masyarakat. Mulai usia anak-anak, remaja, dewasa hingga usia orang tua.

Terlebih permainan ini hanya bisa dilihat atau dimainkan pada event-event tertentu sehingga menjadi permainan tradisional yang ditunggu-tunggu perhelatannya. Seperti halnya pada kegiatan akbar FBIM tahun ini.“Permainan ini hanya dilakukan pada malam hari, supaya terlihat kobaran dan percikan api. Kalau penerangan lapangan hanya secukupnya saja," tutur Kaharap, pemain sepak sawut dari Palangka Raya lainnya.

Kaharap menceritakan, konon  permainan sepak sawut di Kalteng ini hanya dimainkan pada kondisi tertentu yang menjadi adat istiadat turun temurun. Semisalkan ada acara orang  mendapatkan rezeki setelah berladang  atau berhasil dalam usaha-usaha kehidupannya."Ungkapan rasa syukur mana kala rumahnya selesai dibangun, juga kerap menggelar sepak sawut ini," jelasnya.

Namun sekarang sepak sawut ini lanjut Kaharap, sudah jarang dilakukan pada acara-acara di lingkungan masyarakat, sehingga keberadaan permainan tradisional ini menjadi langka. 

Walaupun pada event-event tertentu seperti halnya FBIM ataupun Palangka Fair dan kegiatan budaya Kalteng lainnya selalu memasukan sepak sawut  dalam agenda acara kegiatan.

Permainan sepak sawut itu sendiri jelas Kaharap, sama halnya dengan bermain sepak bola pada umunya atau bola futsal, dimana setiap tim terdiri dari lima orang pemain. Sedangkan luasan lapangan yang digunakan tidak berbeda jauh dengan luas lapangan bola futsal. 

Pertandingan dipimpin oleh seorang wasit dengan prosedur durasi waktu yang dipertandingkan sebanyak 2×10 menit. "Siapa yang banyak memasukkan bola ke gawang lawan maka tim tersebut yang dinyatakan sebagai pemenang," terang Kaharap.

Menurut Kaharap  tidak ada unsur magic yang ada dalam permainan sepak sawut, namun lebih pada keunikan dan kelangkaan dari permainan ini, termasuk bagaimana teknik memainkannya. "Bola yang digunakan dari  bahan kelapa yang mengeluarkan api inilah yang unik dan terkesan ekstrim. Ya, kita patut melestarikan bahkan mempromosikannya," demikian Kaharap. (Penulis. Ferry S. MC Kota Palangka).