Likuifaksi Petobo Sisakan Mata Air dari Surga

:


Oleh Gusti Andry, Rabu, 29 Mei 2019 | 17:43 WIB - Redaktur: Noor Yanto - 1K


Palu, InfoPublilk – Sambil berjongkok, gadis mungil itu mendorong maju mundur mobil-mobilan plastik berwarna kuning di lantai semen kasar. Lirih dari mulut mungilnya meniru suara mobil, mungkin. Bukan mainan baru, pun sebenarnya mobil-mobilan tak cocok bagi si mungil hitam manis itu.

Tapi, ia tetap asyik  saja bermain sendiri. Barangkali, karena atap seng teras hunian sementara (huntara) cukup teduh dan mampu menabirinya dari terik matahari Kota Palu. Kota lahir si gadis yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga tengah hari itu, Selasa (28/5), matahari tepat di ubun-ubun mendidihkan air raksa di tabung thermometer hingga menyentuh angka 40 derajat Celcius.

Bukan sengaja, bila keasyikan si gadis terusik oleh kehadiran InfoPublik yang terlalu dekat mencoba meng-capture wajah polosnya. Ia berdiri, untuk kemudian berlari  kecil sambil agak menyeretkan tubuhnya di dinding asbes huntara. Dahinya mengernyit, matanya mendelik, mulut melengkung ke bawah menahan tangis.

Sebelum tangisannya benar-benar pecah, seorang ibu berperawakan subur, menyambutnya. “Ga apa-apa, sini sini, udah ga usah nangis,” kata perempuan paruh baya yang secara tampilan tidak mungkin sebagai ibu si gadis. “Itu Om cuma mau foto Salsa aja,” kata Hermawati, nama si ibu yang ternyata adalah nenek si gadis. Bukan nenek langsung sebenarnya.

Nama lengkap si gadis mungil adalah Salsabila. Nama yang indah, seindah maknanya, Mata Air dari Surga. Baru berusia sekitar 2,5 tahun. Hermawati tak tahu persis kapan Salsabila lahir. Yang pasti, anak ini asli dari Desa Petobo, tepian Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Menurut penuturan Hermawati, kakek Salsabila adalah saudara kandung dari suaminya. Perihal Salsabila sejak delapan bulan terakhir ini menjadi anak asuh Hermawati, dikarenakan ia memang tak beribu lagi. Delapan bulan lalu, tepatnya 28 September 2018,  gempa, tsunami dan likuifaksi menelan korban hingga 4.402 jiwa yang tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong.

“Ibu dan nenek Salsabila hilang dalam bencana itu. Sejak itu, ia saya pelihara. Bapaknya sih ada, tapi ia tidak mungkin merawat Salsa, karena ia sendiri kesulitan mencari pekerjaan, masih kerja serabutan,” cerita Hermawati sambil mendiamkan si mungil yang matanya mulai berkaca kembali.

Sebenarnya, Hermawati bukan hanya mengurus Salsabila. Ia juga harus berjualan apa adanya, mengumpulkan rupiah demi rupiah, untuk menghidupi suami dan anaknya yang masih berusia sekolah dasar. Suaminya, pasca gempa, praktis berstatus pengangguran. Dulu, saat masih memiliki sejumlah kambing, ia sehari-hari menggembalakan ternak di padang rumput yang banyak membentang di sekitar wilayah Petobo.

Malang, ketika lapisan bawah tanah  mencair atau yang disebut fenomena likuifaksi itu, lahan tempat ternak mereka merumput porak poranda. Hewan ternak peliharaan warga tak terselamatkan, tenggelam tanpa bekas. Hanya bayangan samar peristiwa suram itu yang entah sampai kapan akan berbekas di muram wajah Salsabila. Polos paras Mata Air dari Surga ini bak ingin sirami semangat agar Palu Bangkit segera.