Tumenggung Jalil dan Benteng Tundakan, Sejarah Balangan yang Hampir Terlupakan

:


Oleh MC KAB BALANGAN, Kamis, 16 Mei 2019 | 12:42 WIB - Redaktur: Noor Yanto - 6K


Paringin, InfoPublik - Kedahsyatan perang Banjar Barito 1859-1906 juga terjadi sampai kepelosok Banua, tidak terkecuali di Balangan dimana jaman kolonial dahulu wilayah Bumi Sanggam ini merupakan distrik (Kewedanaan) yang merupakan bagian dari wilayah administratife Onderafdeeling Alabio.

Perlawan (perang) para pejuang terhadap penjajah Belanda di wilayah Balangan tidak bisa dipisahkan dari nama tokoh Tumenggung Jalil dan Benteng Tundakan. Tumenggung Jalil dengan nama lahir Abdul Jalil, mempunyai gelar Tumenggung Macan Negara dan Kiai Adipati Anom Dinding Raja merupakan pemuda kelahiran Palimbangan Hulu Sungai Utara tahun 1840, dan meninggal pada pertempuran di Benteng Tundakan (Balangan) pada tanggal 24 September 1861 pada umur 21 tahun.

Menurut pemerhati sejarah Balangan Dharma Setyawan, kisah heroik perjuangan Tumenggung Jalil tidak kalah dengan para pejuang perang Banjar lainnya, selain gelar Tumenggung Macan Negara dan Kiai Adipati Anom Dinding Raja yang melekat pada diri Tumenggung Jalil, Pengeran Hidayatulah juga memberikan hadiah sebuah tombak berlilit hiasan naga atas keberaniannya.

“Tumenggung Jalil dikenal sebagai rakyat biasa (Jaba), meskipun beliau sebenarnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan Adipati Danuraja yang kala itu yang berkuasa diwilayah Banua Lima namun memihak Belanda,” beber pria yang akrab disapa bang Dharma ini.

Lebih jauh, ketua Komunitas Historia Indonesia (KHI) wilayah Kalsel ini mengungkapkan, Tumenggung Jalil adalah panglima perang dengan basis pertahanan di Banua Lima, sejak kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam ilmu silat. Pada waktu berusia 20 tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di Desa Tanah Habang dan Lok Bangkai. Karena kepahlawanannya dia dikenal sebagai Kaminting Pidakan (Jagoan).

Perjuangan Tumenggung Jalil, kata Dharma dimulai saat tahun 1859 dengan menyusun kekuatan di Banua Lima. Tumenggung Jalil membuat pos-pos penjagaan di sekitar Babirik, Alabio dan Sungai Banar. Di sekitar Masjid Amuntai didirikan benteng. Dimana pada awal Februari 1860, Belanda mengerahkan kapal-kapal perang Admiral van Kingsbergen dan kapal Bernet dengan beberapa ratus serdadu dan pasukan meriam dipimpin oleh Mayor Gustave Verspijck. Kapal perang itu akhirnya sampai di Alabio, dan seterusnya terpaksa menggunakan kapal atau perahu yang lebih kecil karena rintangan yang banyak di sungai. Pertempuran terjadi di sekitar Masjid Amuntai.

“Benteng di sekitar masjid dipertahankan dengan kuat di bawah pimpinan Matia atau Mathiyassin, pembantu utama Tumenggung Jalil dengan gagah berani mengamok menyerbu serdadu Belanda. Beratus-ratus yang menjadi syuhada dalam pertempuran itu, 44 orang di antaranya dimakamkan di Kaludan,’’ bebernya.

Selanjutnya, kata Dharma, pasukan para pejuang yang dipimpin Tumenggung Jalil setelah terpukul di Banua Lima, kemudian menggabungkan diri ke benteng Tundakan bersama-sama Tumenggung Baro dan Pangeran Maradipa.

Lebih jauh, Dharma merinci, pada 24 September 1861 pasukan Belanda dengan kekuatan sekitar 300 orang dibawah pimmpinan Kapten Van Langen dan Kapten Van Heyden mengepung Benteng Tundakan yang dipertahankan oleh Tumenggung Jalil bersama-sama Pangeran Antasari dan tokoh pejuang lainnya. Benteng Tundakan hanya dipertahankan dengan 30 pucuk meriam dan senapan jauh lebih kecil dibanding dengan persenjataan Belanda. Meskipun dengan persenjataan yang kecil, tetapi dengan semangat juang tak kenal menyerah, akhirnya Belanda terpaksa mundur dan dapat dihalau dari tempat pertempuran.

Namun sayang, ungkap Dharma, dalam pertempuran itu, ternyata Tumenggung Jalil gugur sebagai kesuma bangsa. Mayatnya ditemukan dalam tumpukan tumpukan mayat-mayat serdadu Belanda, jauh di luar benteng. Ketika perang sedang berkecamuk, Tumenggung Jalil mengamuk ke tengah-tengah musuh, dan dia menjadi korban bersama-sama serdadu Belanda yang dibunuhnya.

“Tumenggung Jalil menjadi syahid, seorang putera bangsa terbaik telah hilang. Kebencian Belanda kepada Tumenggung Jalil sebagai musuhnya yang paling ditakutinya, berusaha mencari dimana kuburan Tumenggung ini. Akhirnya penghianat perjuangan memberi tahu letak kuburan tersebut. Kuburan dia dibongkar kembali oleh kaki tangan Belanda, tengkoraknya diambil dan disimpan di Negeri Belanda, sisa mayatnya dihancurkan dan dia pejuang bangsa yang kubur tidak jelas keberadaannya,’’ ungkapnya.

Benteng Tundakan

Areal Benteng Tundakan yang berada di desa Tundakan Hulu Kecamatan Awayan pada masa perjuangan dulu, merupakan tempat yang termasuk garis pertahanan Pengeran Antasari di Hulu Sungai (Banua Lima) dibawah Penglima Perang Tumenggung Jalil.

Kini Benteng Tundakan merupakan salah satu dari tiga tempat Cagar Budaya di Kabupaten Balangan, yang langsung dibawah naungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda. Balai ini dibawah langsung direktur jendral kebudayaan kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.

Juru pelihara Benteng Tundakan, Muhammad Ilmi mengungkapkan, luas areal Benteng Tundakan sesuai dengan pagar keliling yang dibuat semasa Balangan masih jadi satu dengan Hulu Sungai Utara adalah sekitar lebar 200 meter dan panjang 100 meter. Kini kondisi benteng yang berupa parit-parit ala mini masih terjaga dengan baik, meskipun para pengunjungnya tiap tahunnya masih bisa dihitung dengan jari tangan.

Selain parit alam, kata Ilmi, dikawasan Benteng Tundakan juga terdapat lobang (mulut goa) yang dipercaya merupakan jalan untuk masuk keterowongan (goa) didalamnya dan juga sebuah makam yang oleh kebanyak warga diyakini sebagai kubur Tumenggung Jalil.

“Makam Tumenngung Jalil terletak diluar areal Benteng dan berada disekitar sungai kecil. Sedangkan untuk mulut goa ada tiga dan diyakini saling berhubungan,’’ bebernya.

Menurut cerita orang tua dulu, kata Ilmi, kubur Tumenggul Jalil berada dibawah pohon Binjai dan dekat sungai namun, kini pohon Binjainya sudah tidak adalagi sedangkan penunjukan kubur sekarang dilakukan oleh salah satu tokoh masyarakat dimasa lalu dengan cara penunjukan langsung.

Sedangkan keberadaan goa yang ada di areal Benteng Tundakan, menurut Ilmi, dibuktikan dengan adanya salah satu warga desanya dengan bantuan salah seorang yang dikenal Tutus Benteng (keturunan penghuni Benteng/orang pintar) bisa masuk ke dalam goa tersebut.

“Menurut pengkuan orang yang masuk tersebut, di dalam goa ada ruangan yang cukup luas, jika diibaratkan bisa mobil truk berpapasan. Sedangkan sebelum sampai ketempat itu harus terlebih dahulu melewati beberapa cabang terowongan dan ada sungai kecil didalamnya,” bebernya.

Terkait pertempuran di Benteng Tundakan sendiri, masih menurut cerita yang dari orang tua dulu ungkap Ilmi, memang ada penghiat yang menunjukan lokasi Benteng Tundakan dan Belanda menyerang mulai arah belakang Benteng Tundakan bukan dari muka.

“Para pejuang memang dalam kondisi tidak siap, bahkan Tumenggung Jalil sendiri dalam keadaan sakit. Padahal para pejuang sudah menempatkan orang dilokasi yang diberi nama Maningau guna memantau pergerakan Belanda jika mau menyerang Benteng, tapi karena Belanda menyerang dari arah belakang maka orang yang bertugas mengawasi pergerakan Belanda tidak mengetahui jika Belanda menyerang Benteng,” bebernya.

Khusus mengenai adanya penghianat yang memberitahu pihak Belanda dimana lokasi kubur Tumenggung Jalil, menurut Ilmi, memang benar adanya.

Bahkan buktinya, hingga kini di desa Tundakan yang dulunya bernama Tandakan (kumpulan para pejuang) ada satu lokasi yang diberi nama Sumpahil.

“Tempat ini diberi nama Sumpahil karena ditempat itulah para pejuang memberikan sumpah gila tujuh turunan, yang ditunjukan untuk orang yang memberitahu lokasi kubur Tumenggung Jalil kepada Belanda,” bebernya.

Selain itu, Bapak dua anak ini, juga memperlihatkan sebuah meriah tangan (Meriam Lila) yang merupakan sisa senjata pasukan Tumenggung Jalil saat pertempuran 23 september 1861 yang hingga kini masih disimpannya.

“Meriam ini merupakan warisan turun temurun, sedangkan cerita asal muasalnya saya kurang tahu pasti, namun Meriam ini diyakini milik pasukan Tumenggung Jalil,” tutupnya.

Kita sebagai genarasi penerus bangsa sudah seharusnya peka terhadap keberadaan situs sejarah dan jalan sejarahnya. Seperti Benteng Tundakan serta ketokohan Tumengung Jalil agar dipelihara keberadaannya, karena pelestarian situs sejarah akan memberikan ikatan kesinambungan yang erat, antara masa kini dan masa lalu.

Pemahaman yang dangkal tentang kesejarahan akan mendegradasi intelektualitas dan moral kita sebaga generasi muda, jangan lupa bahwa mempelajari sejarah adalah mengenai mempelajari pengalaman masa lalu untuk merajut masa depan.

Karena dengan lestarinya situs sejarah, kita dapat lebih mudah mengetahui peristiwa maupun sikap, ide-ide, filosofi, kepercayaan, keindahan, dan pola kehidupan dimasa lalu yang bisa kita jadikan panutan dimasa sekarang dan akan datang. Generasi muda yang buta sejarah adalah generasi yang kehilangan identitas dirinya. (MC Balangan/sugi)