Lebah Megachile Pluto Ditemukan Kembali di Maluku Utara

:


Oleh Wawan Budiyanto, Selasa, 26 Februari 2019 | 20:56 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 1K


Jakarta, InfoPublik - Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Joeni Setijo Rahajoe mengatakan, kabar ditemukannya kembali lebah raksasa Wallace atau lebah pluto (Megachile pluto Smith 1861) di Maluku Utara telah menjadi pembicaraan hangat di kalangan ilmuwan, khususnya bidang zoologi.

Menurutnya, lebah dengan rahang bawah (mandibula) yang sangat besar ini dikoleksi oleh Alfred Russel Wallace pada tahun 1859 dan kemudian dideskripsi dan diberi nama oleh Frederick Smith pada tahun 1861.

Dijelaskannya, penemuan itu memberikan harapan baru di tengah cepatnya penurunan keanekaragaman jenis
dan populasi serangga secara global.

Sejak penemuan pertamanya, lebah raksasa ini telah ditemukan beberapa kali yaitu pada tahun 1863, 1951, 1953, 1981, dan 1991. Koleksi yang diperoleh tersebut disimpan di beberapa museum besar di
dunia antara lain di Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat.

“Kendati jenis asli dan endemik Indonesia, namun koleksi ilmiah lebah raksasa Wallace belum tersimpan di Museum Zoologicum Bogoriense sebagai pusat depositori nasional sekaligus museum zoologi terbesar di Asia Tenggara,” jelas Joeni Setijo Rahajoe di Jakarta, Selasa (26/2).

Dari 29.794 nomer koleksi bangsa Hymenoptera (lebah, tawon dan semut) terdapat 4.368 nomer koleksi lebah (Apidae). Namun hanya beberapa koleksi lebah dari marga Megachile, yang memiliki mandibula besar, diantaranya Megachile clotho, M. lachesis, M. catinifrons, dan M. disjuncta.

“Hal ini yang akan menjadi perhatian kami untuk dapat memprioritaskan penemuan jenis-jenis langka dan endemik agar dapat
menjadi referensi ilmiah bagi masyarakat Indonesia dan internasional,” sebut Joeni.

Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cahyo Rahmadi mengungkapkan, pada tahun 2018 jenis
ini ditemukan kembali dan dipublikasikan pada Journal of Insect Conservation dan dilaporkan juga memiliki nilai ekonomi tinggi. Kemudian di bulan Januari 2019 penemuan jenis ini kembali dilaporkan dalam Global Wildlife Conservation dari Maluku Utara.

"Lebah ini rentan terhadap perburuan dan kepunahan. Pengambilan koleksi lebah raksasa dengan tidak memperhatikan keberadaan sarang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup dari generasi lebah berikutnya sehingga meningkatkan resiko kepunahan jenis,” ujar Cahyo.

Peneliti lebah Pusat Penelitian Biologi LIPI, Sih Kahono menjelaskan, lebah raksasa Wallace adalah salah satu dari 456 jenis lebah yang dapat ditemukan di Indonesia dan hanya ditemukan di sejumlah pulau di Maluku Utara.

“Perilaku lebah Wallace sangat unik. Lebah betina menggunakan resin dari tanaman seperti Anisoptera thurifera untuk membuat sarang di dalam sarang rayap Microcerotermes amboinensis,” terangnya.

Menurut Sih Kahono, keunikan asosiasi seperti ini masih belum banyak diketahui sehingga perlu penelitian lebih lanjut.

Lebah raksasa Wallace sendiri telah masuk dalam kategori rentan (vulnerable) dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN red-list). Perlu upaya konservasi yang terukur pada masa mendatang agar dapat memastikan kelangsungan hidup jenis tersebut dan habitatnya.

LIPI mendukung upaya semua pihak termasuk peneliti, pengamat, konservasionis, dan pihak lainnya baik dalam maupun luar negeri untuk bersama-sama memberikan perhatian kepada kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sekaligus
melakukan upaya penyelamatan berbagai jenis-jenis endemik Indonesia serta jenis-jenis yang terancam punah.

LIPI juga menghimbau semua pihak yang ingin berkontribusi dalam upaya pengungkapan keanekaragaman
hayati, penyelamatan jenis dan habitatnya untuk menghormati dan mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.