Balawang Tujuh -Tradisi Perkawinan Janda dan Duda

:


Oleh MC KAB BALANGAN, Senin, 26 November 2018 | 10:46 WIB - Redaktur: Noor Yanto - 1K


Paringin, InfoPublik - Tradisi "Balawang Tujuh" sejatinya merupakan perkawinan bagi seorang janda dan duda, yang melangsungkan pernikahan kembali, dan menginginkan kehidupan rumah tangganya yang baru akan harmonis hingga akhir hayat.

Balawang Tujuh merupakan istilah dalam Bahasa Banjar, Kalimantan Selatan yang diambil dari kata "Lawang" artinya pintu, dan "Tujuh" merupakan jumlah dalam hitungan. Balawang Tujuh dapat diartikan dengan Tujuh Pintu yang harus dilewati.

Dalam sebuah lagu dengan judul Balawang Tujuh, ciptaan seniman dan budayawan Kabupaten Balangan, Kalsel Syarkawi A, tersirat banyak makna dan arti serta pesan dalam lirik mengenai tradisi Balawang Tujuh.

"Pung pung halu garagicak giang giang, asal jangan bemadu dihadangi malam siang”.

Penggalan bait di atas, bermakna asalkan tidak dimadu, pengantin perempuan siap mengabdikan diri pada suami baik malam maupun siang. Hal tersebut juga bermakna sebagai kehidupan baru, di mana secara umum umat Islam menjadikan waktu magrib (malam) sebagai awal waktu pergantian hari, maupun berkaitan dengan ibadah.

“Pung pung halu garagicak giang giang takumpul pada balu jangan behiri nang bujang".

Dan bagi yang belum menikah atau masih bujangan, jangan iri karena janda dan duda (keduanya disebut balu) kini disatukan oleh sebuah pernikahan.

"Baliliukan balawang tujuh, diarak malam bagunung api, musik pangiring si suling karuh, musik panting di Batumandi".

Pada bait ini dimaknai dengan adanya tujuh kelokan pintu yang harus dilewati oleh pasangan pengantin yang biasanya dibuat dari bentangan tali, dengan tujuh kelokan atau dimaksudkan tujuh pintu, dan setiap tiang kelokan tersebut terdapat obor api.

Acara menjalani prosesi tersebut pun pada malam hari dengan ilustrasi sebuah gunung api dalam mengiringi pengantin lelaki untuk menuju persandingan mempelai wanita. Kemudian suling karuh dan musik panting, merupakan sebuah alat musik tradisional di Kalimantan Selatan.

Untuk wilayah Balangan, musik panting tersebut dulu digiati oleh masyarakat Kecamatan Batumandi, namun kini sudah banyak yang menggiatinya. Alunan musik panting mengiringi prosesi arakan pengantin dalam melewati tujuh pintu tersebut. Kini pada prosesi Balawang Tujuh, terkadang diiringi oleh musik panting, atau bahkan tanpa diiringi alunan musik. Meskipun belum diketahui secara pasti asal muasal serta filosofi pasti yang terkandung dalam prosesi Balawang Tujuh tersebut.

Jalan Baliuk

Ada dua prosesi yang sangat mirip, yaitu Balawang Tujuh dan Jalan Baliuk. Kedua tradisi ini sama-sama dilaksanakan pada malam hari dan di tanah lapang. Dan kedua mempelai memakai pakaian khas adat Banjar.

Namun, jalan baliuk ini tidak untuk duda ataupun janda saja, melainkan kini dilaksanakan oleh semua pasangan yang melangsungkan resepsi perkawinan. Namun menginginkan rumah tangga yang harmonis, sehingga prosesi tersebut dilaksanakan, bahkan sebagian dilaksanakan sebagai ritual adat kebiasaan atau sekedar memberikan nuansa hiburan dan daya tarik bagi masyarakat.

Daerah yang masih melaksanakan prosesi Balawang Tujuh adalah Kecamatan Lampihong, dan untuk prosesi Jalan Baliuk adalah Kecamatan Juai serta Awayan, serta desa-desa lainnya yang masih memegang erat tradisi budaya tersebut. Adapun kepercayaan yang juga menyertai dalam prosesi pelaksanaan Balawang Tujuh, serta penggunaan pakaian khas adat banjar, adanya sebuah upeti mirip sesajen yang sering disebut "piduduk/pinduduk" berupa beras ketan, kelapa, telur, harum-haruman, dan lain-lain, dimaksudkan agar mendapatkan restu pula oleh orang-orang pendahulu.

Karena memang ada sebagian pengantin juga yang mengalami kesurupan saat melaksanakan Balawang Tujuh maupun ketika mengenakan pakaian khas adat Banjar ketika melangsungkan prosesi perkawinan.

Bagunung Api

Pengantin pria diarak dalam sebuah gunung api, yang terbuat dari kerangka kumpulan obor menyerupai sebuah atap rumah, yang dimaksudkan sebuah gunung berapi. Hal ini bermakna, untuk mendapatkan seorang mempelai dan mendapatkan rumah tangga yang kokoh, mempelai pria siap bekerja keras, bahkan rela untuk mendaki gunung, meskipun gunung tersebut adalah lautan api.

Makna lain yang terkandung di dalamnya juga memiliki arti bahwa, ketika kita sudah bersusah payah untuk mendapatkan seorang pendamping wanita, maka bimbinglah ia, sayangi dan hormati, jangan sampai disia-siakan, mengingat upaya serta usaha kita dalam mendapatkan jodoh yang tepat.

Pengantin pria diarak dengan gunung api tersebut untuk menuju rumah mempelai wanita, ketika sudah sampai, pengantin pria keluar dari gunung api tersebut. Kemudian seorang wanita baik itu seorang yang dihormati di desanya maupun orang tua mempelai yang mendampingi menyampaikan kata syair atau sebuah pantun.

Dan disambut pula kata syair sambutan maupun balasan pantun menyambut kedatangan mempelai lelaki oleh pengiring mempelai wanita, baik itu orang yang ditunjuk atau dihormati maupun ibu dari mempelai wanita. Kedua mempelaipun bersatu dan selanjutnya mempelai lelaki mengajak mempelai wanita berjalan bersama untuk melewati tujuh pintu atau tujuh kelokan berapi, yang disebut Balawang Tujuh.

Dengan pengantin perempuan di depan, sambil dipegangi oleh pengantin lelaki dengan kedua belah tangannya dari belakang mempelai wanita, hingga selesai melewati tujuh pintu berapi (obor) tersebut. Makna yang terkandung di dalam prosesi tersebut, artinya seorang wanita harus dihargai dan dihormati serta dilindungi sebagai bagian dan pendamping hidup. Sebagai imam dan pemimpin rumah tangga, sang lelaki juga dimaksudkan agar membimbing istrinya untuk melewati berbagai macam cobaan hidup.

Prosesi Balawang Tujuh sendiri diduga dilaksanakan oleh kaum Muslim, karena dalam sebuah bait lagu Balawang Tujuh sendiri, terdapat Bait "Ijab Qobul membaca Taklik", yaitu perjanjian pernikahan dalam hukum Islam.

Banyak pendapat terkait Tujuh Pintu dengan obor dalam prosesi Balawang Tujuh dan Jalan Baliuk, ada yang mengartikan sebagai tujuh hari dalam seminggu. Namun tujuh disini diyakin memiliki banyak arti dan makna tersirat dalam menjalani kehidupan.

Tidak semudah tujuh hari semata dalam seminggu. Namun makna yang terkandung dalam tujuh kelokan atau tujuh pintu dengan obor api tersebut, dapat diartikan dengan banyaknya cobaan hidup yang dapat menyala seketika serta membakar kehidupan berumah tangga, sehingga dapat mengakibatkan kegagalan.

Pintu pertama dapat diartikan, perkawinan adalah amanat Allah SWT, maka jagalah amanat Allah itu sekuat-kuatnya dan seteguh-teguhnya, karena setan (setan dari api) akan berusaha dengan seribu satu macam cara untuk menghancurkan perkawinan tersebut. Banyak orang yang gagal mempertahankannya, karena setan terus saja menggoda pasangan suami istri untuk terjerumus ke dalam lembah yang hina, yang ujung-ujungnya perceraian.

Kedua, Perkawinan adalah sunnah Rosul yang harus diikuti perasaan memiliki dan bertanggungjawab terhadap keutuhan rumah tangga, demi terciptanya keluarga yang harmonis. Karena persoalan kehidupan yang terdakang rumit dari segi ekonomi, sosial dan budaya serta lain sebagainya yang mewarnai kehidupan berumah tangga, cobaan tidak hanya sekali, namun berkali-kali.

Ketiga, perkawinan adalah bahtera rumah tangga yang sangat luas, mengarungi ombak kehidupan. Di mana hidup berumah tangga merupakan persatuan persepsi yang berbeda, baik watak, sifat, kelakuan, gaya bicara dan lain sebagainya.

Maka, bila yang ditonjolkan adalah perbedaannya, ini biang masalahnya. Tidak mudah memang, namun bukan berarti tidak bisa. Niat yang tulus ikhlas dalam berumah tangga adalah kunci utama kokohnya sebuah rumah tangga.

Kempat, perkawinan adalah simpul yang sangat kuat, karena diikat langsung oleh kalimat Illahi yang mengikat dua hati, dua jiwa menjadi satu dalam bahtera rumah tangga, di mana sang suami menjadi kepala rumah tangga dan sang istri mendampinginya, diucapkan lewat kalimat taklik pernikahan. Untuk itulah sepasang suami istri harus terus menerus saling mengingatkan satu sama lain, agar ikatan perkawinan tersebut tidak putus di tengah jalan.

Kelima, perkawinan adalah tempat berbagi, bercerita, bercengkerama, bercinta dan berkasih sayang antara suami istri dengan penuh keikhlasan, kesabaran, ketabahan dan kebenaran, penuh kejujuran dan saling terbuka, tidak tertutup satu sama lain.

Keenam, perkawinan adalah karunia kepada mereka yang mau berbagi kepada sesamanya dalam suka maupun duka, dan yang berusaha menekan egonya sendiri demi kebahagiaan bersama, mengesampingkan harta dan lebih mementingkan kebahagiaan hidup bersama dalam rumah tangga, yang dikaruniai anak-anak yang berbakti kepada orang tua.

Ketujuh, perkawinan adalah hubungan yang sangat sakral, diharapkan perkawinan adalah hal yang bisa menjadi awal dan akhir dalam mencapai kehidupan rumah tangga yang bahagia. Suami dan istri terus bersama dalam melewati berbagai masalah, sehingga mampu pula membimbing anak-anaknya dalam hidup, sehingga menjadi anak-anak yang memiliki etika dan sopan santun serta sukses dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan.

Diyakini, prosesi tersebut merupakan media penyampaian yang harus dimaknai oleh kedua mempelai serta pesan moral bahkan kepada para pengunjung yang menyaksikan prosesi tersebut. Sehingga pesan itu bukan hanya kepada para mempelai Janda dan Duda yang pernah gagal dalam menjalani rumah tangganya, namun juga kepada siapapun yang akan maupun sudah berumah tangga, agar tetap menjaga keutuhan rumah tangganya dengan bertanggung jawab.

Cobaan tidak hanya datang sekali, namun tujuh hari dalam seminggu, baik malam maupun siang, cobaan akan terus datang, tergantung bagaimana kita menjalani dan menghadapinya serta menyikapinya, agar kehidupan rumah tangga tetap utuh hingga akhir hayat.

Setelah prosesi melewati gunung api selesai, kedua mempelai memberi hormat dan bersalaman untuk meminta restu orangtua dan orangtua barunya, yaitu mertua. Selanjutnya prosesi resepsi pernikahan pun berjalan normal seperti biasa dalam resepsi perkawinan. (MC Balangan/Roly)